, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

KONTROVERSI PEMAKAIAN JILBAB DI INDONESIA

les, indonesia, private, obras, guru, sekolah, belajar, yogyakarta, usaha, jogja, kursus, terbaik, batik, kaos, kebaya, jahit, baju jahit, mesin jahit, konveksi, kursus menjahit
KONTROVERSI PEMAKAIAN JILBAB DI INDONESIA

KONTROVERSI PEMAKAIAN JILBAB DI INDONESIA



Kontroversi pemakaian jilbab di Indonesia seperti yang penulis temukan, dimulai tahu 1930-an yaitu di Yogyakarta seorang siswi SMU tidak setuju dengan peraturan yang menyarankan siswa perempuan untuk mengenakan tutup kepala untuk menjaga kesucian perempuan. Menurutnya, Jawa bukan negara Arab, dan memeluk agama Islam tidak berarti harus mengikuti adat istiadat seperti yang ada di Arab. Media massa saat itu berpihak pada pendirian siswi ini begitu pula pendapat masyarakat pada umumnya hingga pandangan itu berlangsung lama.
Tahun 1983 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto merespon persoalan murid perempuan berjilbab. Dalam pidatonya disebutkan bagi pelajar yang karena suatu alasan merasa harus memakai kerudung, pemerintah akan membantunya pindah ke sekolah yang seragamnya memakai kerudung. Sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga mengadakan pertemuan khusus dengan Majelis

Ulama Indonesia (MUI) dan menegaskan bahwa seragam harus sama bagi semua orang berkaiatan dengan peraturannya, karena bila tidak sama berarti bukan seragam. Ketua MUI KH. EZ. Muttaqien menanggapi banyaknya pertanyaan mengenai pemakaian kerudung (bukan jilbab) pada seragam sekolah SLTP dan SLTA dinyatakan bahwa pedoman pemakain seragam sekolah adalah pedoman untuk para kepala sekolah dalam mengatur pakaian seragam sekolah, menurut kondisi yang sesauai dengan makna pendidikan di daerahnya. MUI mengatakan bahwa yang dipersoalkan adalah kerudung bukan jilbab, seolah-olah jilbab merupakan kosa kata baru. Tahun 1987, Menteri Agama Munawir Sjadzali belum memiliki keputusan resmi mengenai bagaimana sebaiknya busana perempuan muslim di luar rumah karena harus menunggu kesepakatan dengan para ulama. Tahun 1988 kontroversi pemakaian jilbab meruncing karena pengaduan 4 orang siswi SMA 1 Bogor ke pengadilan karena sikap kepala sekolah yang tidak berkenan mereka memakai kerudung dan akan mencoret mereka dari daftar hadir sehingga statusnya sebagai siswa mengambang. Hak-haknya sebagai siswa akan diabaikan.
Tahun 1989 kasus yang sama terulang, 10 siswi SMA 68 Jakarta mengadu ke LBH Jakarta karena tidak bisa lagi mengikuti pelajaran karena dianggap melanggar tata tertib disiplin berbusana di sekolah dan karena itu mereka dikembalikan kepada orang tuanya. Pada awalnya mereka tidak diperkenankan mengikuti pelajaran dan ulangan umum, tetapi kemudian pihak sekolah tidak membagikan rapor dan melarang mereka masuk ke sekolah. Mereka diijinkan masuk ke sekolah asal melepaskan kerudungnya selama mengikuti pelajaran, tetapi ditolak oleh para siswi dan orang tuanya karena alasan keyakinan agama. Mereka dianjurkan untuk pindah ke sekolah lain dan pihak sekolah mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan status mereka dikembalikan

pada orang tua mereka. Surat ini didukung Kakanwil Depdikbud DKI Jakarta dengan alasan penegakan disiplin dan ketaatan pada peraturan. Kemudian muncul sebuah pernyataan menarik dari sebuah acara diskusi buku Islam alternatif karya Jalaludin Rakhmat. Pembahas buku adalah Dr. Ir. Fachrurrozie Sjarkowi dalam artikelnya berjudul Kalah Prestasi, Posisi Pemakai Jilbab Terpojok menyebutkan bahwa segala insiden yang menimpa para murid berjilbab terjadi karena seringkali terlihat para siswi madrasah tertinggal pengetahuan dan keterampilannya dari siswi sekolah umum, akibatnya pemakai jilbab tidak sempat menjadi idola yang patut diteladani. Peristiwa puncak dari segala perdebatan mengenai jilbab di dalam sekolah ini adalah diresmikannya peraturan penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas untuk SLTP dan SLTA mulai tahun ajaran 1991/1992. Surat Keputusan No. 100/C/Kep/D/1991 merupakan penyempurnaan dari Surat Keputusan No. 052/C/Kep/D/1982 tentang pakaian seragam sekolah. Surat keputusan lama menyatakan antara lain :
1) Bagi sekolah yang berhubung pertimbangan agama dan adat istiadat setempat menghendaki seragam sekolah macam dan bentuknya berbeda, terutama untuk jenis pakaian seragam puteri maka dapat menggunakan seragam khas untuk seluruh siswa dalam satu sekolah.
2) Bentuk tutup kepala diikat seperti destar atau blangkon.
3) Blus berbentuk jas, berlengan panjang, dan pemakaiannya tidak dimasukkan ke dalam rok.
4) Panjang rok sampai lutut untuk siswi SLTP dan sampai mata kaki untuk siswi SLTA.


Surat keputusan baru menyatakan antara lain :
1) Siswa puteri yang karena keyakinannya menghendaki penggunaan pakaian seragam sekolah yang khas, dapat mengenakan pakaian seragam khas yang warna dan macamnya sesuai dengan lampiran.
2) Siswa puteri yang mengenakan pakaian seragam sekolah yang khas, harus mendapat persetujuan orang tua atau wali.
3) Tutup kepala bagi siswa puteri ditentukan berbentuk kerudung warna putih.
4) Blus berbentuk biasa, berlengan panjang sampai pergelangan tangan, memakai satu saku tutup di sebelah kiri dan dimasukkan ke dalam rok.
5) Panjang rok baik SLTP maupun SLTA sampai mata kaki.
Setelah keluarnya SK jilbab tersebut maka maraklah para remaja khususnya memakai jilbab baik disekolah maupun di lingkungan tempat tinggalnya. Namun selepas masa Orde Baru tampaknya peraturan yang ketat terhadap cara berbusana di sekolah menjadi agak longgar sehingga muncul berbagai model seragam sekolah untuk muslimah. Contoh kasus adanya kecenderungan cara berbusana baru di kalangan siswi SLTA di Jakarta. Mereka mengenakan rok panjang yang berlipit-lipit sampai mata kaki dengan atasan berlengan pendek dan tanpa berkerudung, sementara yang lain mengenakan rok selutut dan atasan berlengan pendek. Kondisi ini merupakan kecenderungan para siswi SLTA sebagai gaya, fashion dan menjurus pada gaya hidup berseragam sekolah masa kini dan bukan penjajagan dalam rangka berlatih sebelum memakai jilbab. Kondisi ini didukung pihak sekolah dengan alasan membuat para murid perempuan tampil lebih sopan.
Kini pemakain jilbab tidak lagi diperdebatkan. Kaum muslimah tidak lagi ragu mengenakan jilbab dalam kegiatannya sehari-hari, baik di sekolah, kampus, jalan-jalan, tempat rekreasi dan terlebih di lingkungan sekitar rumah. Jilbab kini dipakai

oleh semua muslimah dari mulai anak-anak terlebih perempuan dewasa. Peragaan dan lomba busana muslimah mulai sering diadakan sejak pertengahan tahun 1990-an. Setiap tahun para perancang busana muslimah mengeluarkan trend baru busana muslimah. Kini rancangan busana muslimah hadir di berbagai media massa. Dengan maraknya para desainer busana muslimah yang membuat beragam gaya berbusana muslimah kini kaum muslimah tidak lagi mengenakan jilbab dengan busana yang longgar, tetapi menjadi beraneka ragam yang tidak saja menunjukkan lekuk tubuh, tetapi juga jenis busana yang biasanya dipakai laki-laki kini dipakai oleh perempuan muslim seperti kaos ketat, kemeja berlengan panjang yang ketat, celana panjang terutama dari bahan jeans. Fenomena ini cenderung mengarah pada gaya hidup berbusana masa kini yaitu berbusana unisex pada jilbab. Bahkan salah satu universitas yaitu STPDN pada akhirnya memperbolehkan mahasiswinya memakai jilbab dengan model yang ditentukan dengan peraturan yang tercantum dalam Buku Peraturan Kehidupan Praja (PERDUPA) atas persetujuan Mendagri, dan menurut penilaian penulis, seragam ini lebih cenderung bergaya unisex karena mempergunakan celana panjang sebagai busana bagian bawahnya seperti tampak pada gambar berikut.

0 komentar:

Post a Comment