, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

baju jahit, batik, belajar, guru, indonesia, jahit, jogja, kaos, kebaya, konveksi, kursus, kursus menjahit, les, mesin jahit, obras, private, sekolah, terbaik, usaha, yogyakarta
NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI



15 macam produk tekstil - BAB V
NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI
A.     PENDAHULUAN
- komentar tentang kerajinan tekstil
Kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar ne¬geri sebagai bagian dari keseluruhan kebijaksanaan pembangun¬an selama Repelita IV tetap berlandaskan pada Trilogi Pemba¬ngunan sebagaimana diamanatkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Dalam rangka peningkatan ketahanan dan pemantapan ke-stabilan di bidang ekonomi, kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri diarahkan untuk menunjang proses perubahan struktur ekonomi melalui alokasi dan penggunaan da¬na dan daya produksi yang lebih efisien dan peningkatan pro¬duktivitas. Kebijaksanaan tersebut ditujukan pada peningkatan dan diversifikasi produksi dan perdagangan luar negeri, pe¬nyediaan barang-barang kebutuhan pokok bagi konsumsi dan pro¬duksi dengan harga yang mantap dan terjangkau, pengelolaan hutang dan pinjaman luar negeri secara cermat, peningkatan penanaman modal luar negeri, terpeliharanya kurs valuta asing yang mantap dan realistis serta pemeliharaan tingkat cadangan devisa yang memadai dan sepadan dengan perkembangan neraca pembayaran.
- jenis kerajinan tekstil beserta penjelasannya
Selama dua tahun pertama Repelita IV perekonomian dunia masih terus ditandai oleh kerapuhan pasaran minyak bumi internasional, fluktuasi dalam harga komoditi primer lain¬nya, ketidakpastian dalam perkembangan nilai paritas antara valuta utama, menguatnya tindakan proteksionistis terhadap
V/3




barang-barang ekspor negara-negara berkembang oleh negara-ne¬gara industri serta masalah hutang-hutang negara berkembang yang belum terselesaikan secara tuntas.

Resesi ekonomi dunia yang berlangsung antara tahun 1979 dan 1982 secara bertahap dapat teratasi dengan tercapainya laju pertumbuhan produksi dunia sebesar rata-rata 3,7% dalam masa 1984-1988. Dalam tahun 1988 laju pertumbuhan produksi dunia bahkan mencapai 4,1%. Produksi rill negara-negara in¬dustri, negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dan negara-negara pengekspor minyak bumi masing-masing me¬ningkat dengan 4,1%, 5,2% dan 2,2%, yang merupakan laju per¬tumbuhan yang paling tinggi sejak tahun 1980 bagi masing-ma¬sing kelompok negara tersebut. Khususnya negara-negara ber¬kembang di Asia dalam tahun 1988 telah berhasil mencapai laju pertumbuhan sebesar 9,0% sebagai akibat tingginya pertumbuhan di Singapura, Korea Selatan, Thailand dan India.

Volume perdagangan dunia dalam masa 1984-1988 berkembang dengan cukup menggembirakan, yaitu sebesar rata-rata 6,3% dan bahkan 9,3% dalam tahun 1988. Dalam periode yang sama volume ekspor negara-negara industri, negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dan negara-negara pengekspor minyak bumi masing-masing menunjukkan peningkatan sebesar rata-rata 6,2%, 9,7% dan 4,1%. Dalam tahun 1988 laju pertumbuhan volume ekspor mencapai 8,7%, 10,8% dan 11,7% bagi masing-masing kelompok negara tersebut di atas. Volume impor negara-negara industri dan negara-negara berkembang bukan pengekspor minyak bumi dalam periode 1984 - 1988 masing-masing meningkat dengan rata-rata 8,3% dan 6,8% dan dalam tahun 1988 dengan 9,5% dan 12,3%. Negara-negara pengekspor minyak bumi dalam masa yang sama mengalami penurunan dalam volume impor sebesar rata-rata 9,8%, sedangkan untuk tahun 1988 volume impor naik sedikit sebesar 0,8%.

Sementara itu nilai tukar perdagangan negara-negara ber¬kembang menunjukkan perkembangan yang kurang menguntungkan meskipun harga beberapa komoditi ekspor, seperti hasil-hasil pertambangan, menunjukkan perbaikan beberapa waktu terakhir ini. Selama masa 1984 - 1988 nilai tukar tersebut merosot de¬ngan rata-rata 0,2% setiap tahunnya untuk negara-negara bukan pengekspor minyak bumi dan dengan 15,1% untuk negara-negara pengekspor minyak bumi. Sebaliknya nilai tukar perdagangan untuk negara-negara industri menunjukkan kenaikan sebesar ra¬ta-rata 2,2%. Hal ini disebabkan oleh di satu pihak besarnya tingkat kemerosotan harga komoditi primer di luar minyak bumi
selama periode 1985 - 1986 dan kemerosotan harga minyak bumi dengan rata-rata 13,9% selama masa 1984 - 1988 dan di lain pihak meningkatnya harga barang-barang industri dengan rata-rata 6,4% dalam periode 1984 - 1988.

Transaksi berjalan pada neraca pembayaran negara-negara industri dalam tahun 1988 mengalami defisit yang lebih besar dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yaitu sebesar US$ 21,0 milyar. Defisit transaksi berjalan negara-negara berkembang juga membesar dari US$ 14,6 milyar dalam tahun 1987 menjadi US$ 36,3 milyar dalam tahun 1988. Perkembangan terakhir ini terjadi karena kemerosotan dalam nilai tukar perdagangan dan karena pembayaran bunga atas pinjaman luar negeri terus me¬ningkat.

Kerja sama ekonomi internasional dalam masa 1984 - 1988 terutama ditujukan untuk menunjang baik pertumbuhan negara-negara industri maupun pembangunan negara-negara berkembang, meningkatkan koordinasi kebijaksanaan makro antara negara-ne¬gara industri, termasuk kestabilan pasar modal dan valuta asing, mengurangi tindakan proteksionistis dan memperluas per¬dagangan internasional serta penyelesaian masalah hutang ne¬gara-negara berkembang yang mengalami kesulitan dalam pelunas¬an pokok dan pembayaran bunga.

Di bidang moneter, Dana Moneter Internasional (IMF) te¬rus menjalankan upaya untuk menciptakan suatu suasana moneter internasional yang dapat menunjang perdagangan dan pertumbuh¬an dunia melalui peningkatan dana dan fasilitas pinjaman. Khusus untuk negara-negara berkembang berpenghasilan rendah dalam bulan Maret 1986 telah dibentuk Fasilitas Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Facility) yang memberikan bantuan bersyarat lunak untuk menghadapi masalah neraca pem¬bayaran yang berat. Pada tahap awal telah disediakan dana sebesar SDR 2,7 milyar yang dapat digunakan oleh negara-negara anggota dengan batas maksimum 63,5% dari kuota masing-masing. Dalam rangka pengalihan dana-dana pembangunan ke ne¬gara-negara berkembang pada bulan Agustus 1984 Bank Dunia te¬lah meningkatkan dananya sebesar US$ 7,0 milyar. Selanjut¬nya pada tahun 1987 International Development Association (IDA) telah menaikkan dana ke-8 sebesar US$ 12,4 milyar yang direncanakan untuk membantu negara-negara berkembang terutama di kawasan Afrika SubSahara sampai dengan tahun 1990. Di sam¬ping itu, untuk mendorong arus investasi dari negara-negara industri ke negara-negara berkembang, pada bulan Agustus 1985 Bank Dunia telah membentuk Multilateral Investment Guarantee
Agency (MIGA) yang menyediakan jaminan terhadap timbulnya ri¬siko non komersial yang dihadapi pemilik modal.

Di bidang perdagangan terus diadakan perundingan multi-lateral untuk memperluas dan lebih membebaskan perdagangan in¬ternasional serta kembali meningkatkan pembangunan negara-ne¬gara berkembang. Pertemuan Tingkat Menteri Persetujuan Umum tentang Bea Masuk dan Perdagangan (GATT) yang diadakan di Pun¬ta del Este, Uruguay dalam bulan September 1986 sebagai putar¬an baru dari Negosiasi Perdagangan Multilateral (MTN) telah menyepakati prioritas pada pelonggaran perdagangan produk-produk tropis dan pertanian, hasil-hasil olahan kekayaan alam serta produk-produk tekstil. Pembahasan bidang-bidang terse-but berjalan dengan sangat lamban sehingga dalam pertemuan tinjauan kemajuan Putaran Uruguay yang diadakan di Montreal, Kanada, dalam bulan Desember 1988 belum juga tercapai kesepa¬katan, khususnya yang menyangkut produk pertanian, hasil teks¬til dan pengaturan penyimpangan sementara dari prinsip GATT (safeguards).

Sementara itu Konperensi tentang Perdagangan dan Pemba¬ngunan PBB (UNCTAD) telah menyelenggarakan sidangnya yang ke VII di Jenewa, Swiss selama bulan Juli 1987. Berpangkal tolak dari gejolak perekonomian dunia, sidang tersebut menca¬pai kesepakatan di bidang dana-dana pembangunan, termasuk ma¬salah-masalah moneter dan hutang-hutang negara-negara berkem¬bang, komoditi primer, termasuk Program Komoditi Terpadu be¬serta Dana Bersama, dan di bidang perdagangan internasional dan masalah-masalah negara-negara yang paling terkebelakang, sebagai upaya untuk kembali menggiatkan pembangunan dan per¬dagangan internasional.

Selama masa 1982 - 1987 berbagai kegiatan kerja sama eko¬nomi dan teknik antara negara-negara berkembang semakin me¬ningkat. Setelah Pertemuan Tingkat Menteri yang membahas Sis¬tem Preferensi Perdagangan Global (GSTP) antara negara-negara berkembang anggota Kelompok 77 UNCTAD di New Delhi, India dalam bulan Juni 1985, maka putaran negosiasi pertama dalam rangka Perjanjian GSTP telah dilakukan melalui Pertemuan di Brasilia, Brasil dalam bulan Mei 1986. Di samping itu telah diadakan Pertemuan Tingkat Tinggi di bidang Kerja sama Eko¬nomi Antara Negara Berkembang (ECDC) dalam bulan Agustus 1986 di Kairo, Mesir. Berkaitan dengan Gerakan Non Blok dalam bulan September 1986 telah diselenggarakan Konperensi Tinggi di Harere, Zimbabwe, yang kemudian disusul dengan Konperensi Tingkat Menteri tentang Kerja sama Selatan-Selatan di
Pyongyang, Korea Utara, dalam bulan Juni 1987. Indonesia juga berpartisipasi dalam Konperensi Tingkat Tinggi yang diadakan dalam rangka Organisasi Konperensi Islam di Kuwait dalam bulan Januari 1987.

Selama periode 1982 - 1987 kerja sama ekonomi antar ne¬gara anggota ASEAN mengalami kemajuan yang pesat, baik di bi¬dang pertanian termasuk pangan dan kehutanan, keuangan dan perbankan, industri, pertambangan dan energi, pengangkutan dan komunikasi, maupun di bidang perdagangan dan pariwisata. Terdorong oleh tekad untuk menghadapi tantangan-tantangan yang berkembang baik di dalam negeri, di kawasan ASEAN dan Asia Tenggara, maupun di dunia, negara-negara anggota ASEAN telah menyelenggarakan Konperensi Tingkat Tinggi ke III pada tanggal 14 - 19 Desember 1987 di Manila, Filipina. Konperensi tersebut bertujuan untuk menilai kemajuan yang dicapai di bidang kerja sama politik, ekonomi dan sosial budaya dan sekaligus menggariskan prakarsa dan arah baru untuk memacu kerja sama dalam rangka meningkatkan kesejahteraan, ketahanan nasional dan keamanan kawasan ASEAN. Di bidang perdagangan disepakati peraturan-peraturan penyempurnaan Perjanjian Per¬dagangan Preferensial, antara lain penciutan daftar barang-barang yang dikecualikan dari konsesi perdagangan menjadi paling banyak 10% dari jenis barang yang diperdagangkan; pengurangan bea masuk sebesar minimal 25% untuk jenis ba¬rang-barang baru yang masuk daftar PTA; memperbesar konsesi dengan 50% untuk barang-barang yang telah tercakup oleh PTA; mengurangi persyaratan "ASEAN Content" dalam Ketentuan Asal Barang dari 60% menjadi 42% untuk Indonesia dan dari 50% Men¬jadi 25% untuk negara-negara anggota lainnya, serta implemen¬tasi ketentuan tidak menaikkan dan atau mengurangi hambatan perdagangan non tarif. Di bidang penanaman modal disetujui bahwa ketentuan-ketentuan tentang Perusahaan Patungan ASEAN (AIJV) akan dibuat lebih menarik, antara lain melalui kemu¬dahan dalam proses persetujuan proyek industri serta diper-bolehkannya partisipasi investasi dari dan di luar ASEAN sebesar 60% secara bertahap. Di bidang pengangkutan dan komu-nikasi diusahakan terlaksananya jaringan perhubungan ASEAN secara menyeluruh. Untuk meningkatkan arus wisatawan luar negeri ke ASEAN disepakati untuk menyatakan tahun 1992 seba¬gai "Tahun untuk mengunjungi ASEAN" sedangkan dalam rangka kerja sama keuangan dan perbankan akan dibentuk suatu perusahaan reasuransi.
V/7

B.     PERKEMBANGAN NERACA PEMBAYARAN DAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI

    1. Kebijaksanaan Perdagangan dan Keuangan Luar Negeri

Selama periode pelaksanaan Repelita IV (1984/85 - 1988/89) neraca pembayaran Indonesia masih mengalami tekanan berat sebagai akibat kegoncangan dalam perekonomian dunia. Faktor-faktor ekstern utama yang mempunyai dampak negatif terhadap neraca pembayaran meliputi kemerosotan harga minyak bumi, fluktuasi yang tajam dalam harga komoditi primer lain¬nya serta apresiasi Yen Jepang dan beberapa valuta interna-sional lainnya terhadap Dollar Amerika Serikat.

Kegoncangan di pasaran minyak bumi internasional merupa¬kan akibat dari kelesuan dalam kegiatan ekonomi negara-negara industri, kelebihan penawaran di pasaran dan perubahan dalam pola penggunaan energi. Berdasar keputusan OPEC, maka kuota Indonesia dalam bulan Oktober 1984 diturunkan dari 1,3 juta barrel menjadi 1.189 juta barrel per hari. Harga patokan eks¬por minyak bumi mentah Indonesia merosot dari US$ 34,53 dalam bulan Nopember 1983 menjadi US$ 29,53 per barrel dalam bulan Pebruari 1984, jatuh lagi menjadi US$ 28,53 per barrel dalam bulan Pebruari 1985. Sementara itu harga dasar patokan OPEC dihapuskan mulai Januari 1985. Harga ekspor minyak Indonesia terus merosot menjadi US$ 14,45 dalam bulan Maret 1986 dan US$ 9,83 per barrel dalam bulan Agustus 1986. Setelah kepu¬tusan OPEC untuk kembali ke sistem harga yang terikat, mulai Pebruari 1987 ditetapkan harga minyak patokan Indonesia (SLC) sebesar US$ 17,56 per barrel. Dengan demikian harga rata-rata ekspor minyak bumi selama masa 1984/85 - 1986/87 menurun se¬besar 24,6% per tahun dari US$ 29,15 per barrel dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 12,50 per barrel dalam tahun 1986/87 untuk kemudian kembali naik mencapai US$ 17,56 per barrel dalam tahun 1987/88. Harga efektif ekspor minyak bumi Indone¬sia sejak permulaan tahun 1988 mulai merosot lagi. Dalam bulan Nopember 1988 OPEC mencapai kesepakatan untuk membatasi produksi semua negara anggota sehingga mulai 1 Januari 1989 berlaku kuota sebesar 18,5 juta barrel per hari. Usaha terse-but berkaitan dengan kesepakatan mengenai penetapan harga re¬ferensi sebesar US$ 18,0 per barrel. Kuota Indonesia mulai 1 Januari 1989 naik menjadi 1,240 juta barrel per hari. Sejak itu harga minyak bumi di pasaran internasional mulai menun¬jukkan kemantapan. Walaupun demikian harga ekspor minyak bumi mentah Indonesia hanya mencapai US$ 15,07 per barrel dalam tahun 1988/89.

Dalam rangka menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh perkembangan ekonomi dunia tersebut maka kebijaksanaan neraca pembayaran dan perdagangan luar negeri khususnya diarahkan pada peningkatan dan diversifikasi ekspor di luar minyak dan gas bumi sebagai tumpuan sumber penghasil devisa serta seba¬gai penggerak laju pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesempat¬an kerja. Karena itu selama masa Repelita IV telah ditempuh serangkaian langkah-langkah kebijaksanaan untuk menyesuaikan perekonomian Indonesia dengan situasi baru, yaitu langkah-langkah deregulasi dan debirokratisasi serta mempertahankan nilai tukar rill rupiah terhadap valuta acing.

Langkah awal dimulai dengan kebijaksanaan yang tertuang dalam Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1985 menyangkut langkah-langkah di bidang tata laksana ekspor dan impor, pelayaran antar pulau, biaya angkutan laut, pengurusan barang dan doku¬men, keagenan umum perusahaan pelayaran dan tata laksana ope¬rasional pelabuhan. Kebijaksanaan tersebut ditujukan pada pe¬ningkatan efisiensi dalam produksi maupun lalu lintas barang, khususnya barang-barang ekspor dan impor di luar minyak dan gas bumi. Dengan adanya Inpres tersebut pada prinsipnya tidak lagi dilakukan pemeriksaan pabean terhadap barang-barang eks¬por dan barang-barang impor yang nilainya kurang dari US$ 5.000 dan beberapa golongan impor tertentu. Pemasukan barang impor yang tidak terkena pemeriksaan pabean ke wilayah pabean Indonesia harus dilengkapi dengan Laporan Kebenaran Pemerik¬saan (LKP) yang dikeluarkan oleh Societe Generale de Survei¬llance (SGS).

Melalui Paket Kebijaksanaan 6 Mei 1986 ditempuh langkah-langkah penunjang ekspor berupa fasilitas pembebasan dan pe¬ngembalian bea masuk atas barang dan bahan baku impor yang digunakan untuk memproduksi barang-barang ekspor. Kemudahan tersebut diberikan kepada produsen eksportir, produsen bukan eksportir, pengusaha yang melaksanakan proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri Pemerintah dan pengusaha dalam rangka PMA dan PMDN.

Menurunnya harga minyak bumi ekspor dengan 52,5% dalam tahun 1986/87 dibandingkan dengan tahun sebelumnya mendorong dilakukannya devaluasi Rupiah sebesar 31,0% dalam bulan Sep¬tember 1986. Tindakan tersebut ditujukan untuk mempertahankan cadangan devisa dan memperkuat neraca pembayaran melalui pe-ningkatan daya saing barang-barang produksi dalam negeri baik di pasaran dalam negeri maupun di pasaran luar negeri.
V/9

Paket Kebijaksanaan 25 Oktober 1986 yang disusul dengan Paket Kebijaksanaan 15 Januari 1987 merupakan langkah lanjut ke arah deregulasi dan debirokratisasi perekonomian dan meru¬pakan kebijaksanaan yang bersifat struktural. Berdasarkan ke¬bijaksanaan tersebut dimulai pergeseran dari cara pemberian perlindungan untuk barang-barang produksi dalam negeri mela¬lui pengaturan tata niaga impor atau pembatasan kuantitatif ke penggunaan bea masuk. Melalui kedua kebijaksanaan deregu¬lasi terhadap 268 jenis barang atas dasar klasifikasi CCCN di¬berlakukan pembebasan dari restriksi tata niaga atau pembatas¬an kuantitatif. Selanjutnya, berdasar kedua kebijaksanaan ter¬sebut terhadap 221 jenis barang diadakan pelonggaran dari pengaturan tata niaga impor, 208 jenis barang dikenakan pem¬bebasan atau keringanan bea masuk sehingga rentang tarif bea masuk berkisar antara 0% - 40%, sedang 186 jenis barang di-kenakan bea masuk atau bea masuk tambahan.

Paket kebijaksanaan selanjutnya yang diumumkan pada tang-gal 24 Desember 1987 bersifat lebih menyeluruh dan meliputi bidang perdagangan luar negeri, industri, perhubungan, pena¬naman modal serta pariwisata dan menyangkut struktur bea ma¬suk, tata niaga, perizinan, permodalan, perpajakan dan per-kreditan. Pembebasan dari pengaturan tata niaga dikenakan ter¬hadap 106 jenis barang, terdiri dari 28 jenis bahan makanan, minuman dan buah-buahan, 7 jenis produk industri listrik dan elektronika, 10 jenis alat-alat besar suku cadang, 4 jenis produk kimia, 1 jenis produk mesin-mesin perlengkapan dan su¬ku cadang, serta 56 jenis produk industri logam. Di samping itu untuk 48 jenis produk industri alat-alat besar dan 22 je¬nis produk industri kendaraan bermotor diterapkan pelonggaran dari ketentuan tata niaga impor. Selanjutnya juga diadakan penciutan pola keagenan tunggal, khususnya di bidang industri alat-alat elektronika dan alat-alat listrik untuk rumah tangga, kendaraan bermotor dan alat-alat besar.

Pada bulan Nopember 1988 dikeluarkan lagi kebijaksanaan deregulasi baru di bidang perdagangan, perindustrian, perta¬nian dan perhubungan laut. Melalui kebijaksanaan tersebut te¬lah ditiadakan tata niaga impor bagi 301 jenis barang, terdi¬ri dari 50 jenis produk industri makanan dan minuman, 46 je¬nis produk pertanian, 80 jenis produk kimia, farmasi dan kos¬metika, termasuk 33 jenis plastik, 15 jenis produk industri logam, dan 110 jenis produk tekstil. Untuk barang-barang yang tadinya dikenakan larangan impor, perlindungan dilakukan me¬lalui penetapan bea masuk dan atau bea masuk tambahan. Dengan demikian sejak bulan Oktober 1986 hingga Nopember 1988 secara
kumulatif telah diterapkan pembebasan dari pengaturan tata niaga untuk barang-barang impor yang terkelompok dalam 579 pos tarif.

Selama periode 1984/1985 - 1988/89, berbagai usaha lain telah dilakukan untuk mendorong kegiatan produksi barang-ba¬rang ekspor di luar minyak dan gas bumi melalui berbagai ke¬bijaksanaan di bidang tata niaga, perkreditan, perpajakan dan pemasaran.

Di bidang tata niaga telah disederhanakan ketentuan me¬ngenai Angka Pengenal Ekspor (APE) dalam bulan Desember 1984. Dalam ketentuan tersebut antara lain ditetapkan bahwa APE atau APE Sementara (APES), yang sebelumnya berlakunya hanya terba¬tas pada wilayah-wilayah tertentu, dapat dipergunakan untuk melaksanakan ekspor dari seluruh wilayah Republik Indonesia. Ketentuan tersebut diperlonggar lebih lanjut dalam bulan De¬sember 1987, yaitu dengan menghapuskan kewajiban memiliki APE dan APE Terbatas (APET). Untuk selanjutnya ekspor dapat dila¬kukan oleh setiap pengusaha yang memiliki Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) ataupun izin usaha dari departemen teknis yang berkaitan. Namun demikian, ketentuan lama masih tetap berlaku untuk barang-barang ekspor yang terikat perjanjian internasional, seperti tekstil, kopi, dan timah.

Sementara itu berdasarkan kebijaksanaan Desember 1987, sejumlah barang ekspor yang semula diatur tata niaganya, se¬perti ban mobil, tembakau, dan sebagainya, dibebaskan dari pengaturan tata niaga.

Untuk menghindari persaingan tidak sehat antara sesama eksportir kayu lapis, dalam bulan Oktober 1984 telah terben¬tuk Badan Pemasaran Bersama Ekspor Kayu Lapis. Selanjutnya, dalam bulan Maret 1986 telah dikukuhkan Badan Koordinasi Pe¬masaran Bersama (BKPB) ekspor pala.

Dalam rangka kebijaksanaan peningkatan nilai tambah pro¬duk-produk ekspor yang ditujukan untuk meningkatkan penghasil¬an devisa dan kesempatan kerja, dalam tahun 1986/87 ditetap¬kan larangan ekspor rotan dalam bentuk mentah. Untuk memper¬cepat pertumbuhan industri barang jadi rotan, pelaksanaan la¬rangan ekspor rotan dalam bentuk setengah jadi dipercepat da¬ri bulan Januari 1989 menjadi 1 Juli 1988. Di samping itu, untuk memperlancar pemasaran ekspor lampit rotan dan menghin¬dari persaingan yang tidak sehat antara sesama eksportir, di¬tetapkan pengaturan tata niaga berupa pembagian kuota ekspor
kepada eksportir terdaftar dan pembentukan Badan Pemasaran Bersama.

Larangan ekspor kayu gergajian jenis ramin, meranti pu¬tih dan agathis yang tidak berbentuk papan lebar yang dite¬tapkan pada tahun 1986, disusul dengan larangan ekspor kayu bahan chips dan kayu gergajian bernilai rendah mulai bulan September 1988. Di bidang tata niaga ekspor kayu gergajian dan kayu olahan ditetapkan bahwa ekspor semua jenis kayu dan hasil ikutannya wajib diperiksa oleh surveyor sebelum penga¬palan. Juga ditentukan bahwa ekspor hanya dapat dilaksanakan oleh Eksportir Terdaftar, yaitu perusahaan yang memproduksi atau mengekspor kayu gergajian dan olahan yang bahan bakunya berasal dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan mendapat peng¬akuan dari instansi yang berwenang. Larangan ekspor juga dilakukan untuk jangat dan kulit dalam bentuk mentah dan untuk produksi dan ekspor karat bermutu rendah, yaitu SIR 50.

Di bidang perkreditan telah diperluas kemudahan kredit ekspor. Fasilitas kredit ekspor yang semula hanya disediakan untuk eksportir, sejak Pakto 1988 juga diberikan kepada pema¬sok bahan mentah, barang setengah jadi dan barang jadi. Se¬mentara itu dalam bulan Maret 1985 Indonesia telah menanda¬tangani Code on Subsidies and Countervailing Duties, baik se¬cara bilateral dengan Amerika Serikat maupun dalam kerangka GATT, agar tidak dikenakan bea masuk tambahan atas ekspor yang oleh negara pengimpor dianggap telah diberikan subsidi oleh Indonesia. Sehubungan dengan itu Indonesia secara berta¬hap telah mulai menghapuskan subsidi suku bunga kredit eks¬por, sehingga pada tanggal 1 April 1990 tingkat bunga kredit ekspor akan sama besarnya dengan tingkat bunga kredit komer¬sial yang berlaku umum.

Dalam masa Repelita IV dilanjutkan penyempurnaan di bi¬dang perpajakan ekspor. Pada tahun 1988/89 pajak ekspor kayu gergajian diubah dari tarif ad valorem menjadi tarif spesi¬fik. Untuk hasil-hasil kayu lainnya pajak ekspor ditetapkan antara 5% sampai dengan 30%, sedangkan pajak ekspor tambahan diseragamkan menjadi 20% dari harga patokan ekspor. Selanjut¬nya guna mendorong perkembangan ekonomi di wilayah Irian Ja¬ya, untuk kayu gergajian dan kayu olahan telah diberikan ke¬ringanan berupa pengenaan tarif pajak ekspor sebesar 50% dari tarif yang berlaku di wilayah Indonesia lainnya. Penyempurna¬an lainnya berupa penghapusan pungutan daerah terhadap 11 je¬nis barang ekspor.

Kebijaksanaan sistem imbal beli yang menetapkan bahwa pembelian barang-barang Pemerintah dari luar negeri yang me¬makai dana APBN dikaitkan dengan ekspor di luar minyak dan gas bumi terus dilanjutkan dan disempurnakan dalam periode 1984/85 - 1988/89. Sampai dengan Pebruari 1989, kontrak imbal beli yang telah ditandatangani mencapai jumlah US$ 2,0 milyar, sedangkan realisasinya mencapai US$ 1,8 milyar. Mulai tahun 1988 pola imbal beli disesuaikan dengan keadaan dan kemampuan negara mitra imbal beli tersebut, dan pada tahap pertama dilakukan dengan Iran dan Irak.
Usaha-usaha lain yang terus dikembangkan meliputi pe¬ningkatan pengawasan mutu barang ekspor untuk memperkuat daya saing komoditi tersebut di pasaran luar negeri, pelaksanaan hubungan dagang langsung dengan negara-negara Eropa Timur dan RRC untuk memperluas pasaran ekspor, dan peningkatan kerja sama dalam rangka persetujuan komoditi internasional untuk memantapkan volume dan menjaga kestabilan harga komoditi pri¬mer yang berperan penting dalam ekspor Indonesia. Dalam rang¬ka kerja same internasional di bidang kopi, Organisasi Kopi Internasional (ICO) dalam tahun 1988 telah menentukan kuota global sebesar 3,36 juta ton dan Indonesia memperoleh kuota sebesar 5,19%, meningkat sebesar 0,44% dibandingkan dengan kuota periode sebelumnya.

Di bidang impor langkah pertama ke arah deregulasi di¬tempuh dalam bulan Maret 1985 berupa rasionalisasi struktur bea masuk. Berdasar Surat Keputusan Menteri Keuangan telah dilakukan penyesuaian bea masuk secara menyeluruh guna menu-runkan tingkat proteksi dan mengurangi penyelundupan. Tingkat tarif maksimum diturunkan dari 225% menjadi 60%, sedang jum¬lah golongan tarif diturunkan dari 26 menjadi 16. Paket Kebi¬jaksanaan 25 Oktober 1986, 15 Januari 1987, 24 Desember 1987 dan 21 Nopember 1988 menyebabkan adanya perubahan pada daftar tarif yang berlaku dengan adanya jenis-jenis barang yang di-kenakan pembebasan, keringanan atau kenaikan bea masuk dan jenis barang yang dikenakan bea masuk tambahan. Kenaikan bea masuk dan pengenaan bea masuk tambahan tersebut dimaksudkan sebagai kompensasi penghapusan hambatan non tarif untuk ba¬rang-barang yang masih memerlukan perlindungan.
Sementara itu pengaturan pengkaitan impor dengan pembe  lian kapas dalam negeri yang berlaku sejak bulan Januari 1987 telah ditunda dalam bulan Nopember 1987. Kebijaksanaan ini ditempuh untuk meningkatkan efisiensi industri tekstil pada umumnya dan industri pemintalan pada khususnya.
V/13

Di bidang perpajakan diperluas pembebasan bea masuk dan bea masuk tambahan serta penangguhan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) atas pemasukan barang ke dan pengeluaran barang dari kawasan berikat dan atas barang contoh. Fasilitas ini juga berlaku bagi perusahaan bu¬kan PMA/PMDN yang hanya mengekspor sebagian hasil produksinya dan produsen kontraktor atau kontraktor yang melaksanakan pro¬yek Pemerintah yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri. Se-lain itu telah diperluas jenis barang-barang impor yang PPN-nya ditanggung Pemerintah, seperti makanan ternak dan unggas, kertas koran dan peralatan untuk, transfusi darah.

Dalam rangka Perjanjian Perdagangan Preferensial (PTA) ASEAN, dalam bulan Oktober 1988 ditentukan keringanan bea ma¬suk untuk 2.745 jenis barang dengan tingkat konsesi antara 25% hingga 50% dari tarif akhir.

Dalam rangka penyempurnaan sistem pengenaan tarif mulai tanggal 1 Januari 1989 klasifikasi barang berdasarkan Custom Cooperation Council Nomenclature (CCCN), yang sudah tidak se¬padan lagi dengan perkembangan pola perdagangan internasio¬nal, diganti dengan Harmonized System (HS). Lebih terincinya sistem baru ini akan memungkinkan perumusan kebijaksanaan me-ngenai bea masuk dan tata niaga impor yang lebih cermat dan cepat.

Di bidang jasa-jasa kebijaksanaan ditujukan untuk me¬ningkatkan penerimaan devisa dan menghemat serta mengarahkan penggunaan devisa untuk keperluan yang produktif. Langkah-langkah untuk meningkatkan penerimaan devisa antara lain be¬rupa pengembangan pariwisata dan pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Pengembangan sektor pariwisata sebagai salah sa¬tu sumber devisa utama selama masa Repelita IV dilakukan me¬lalui peningkatan pelayanan, termasuk peraturan visa, promo¬si, perluasan jaringan penerbangan internasional, penambahan pintu masuk bagi wisatawan luar negeri dan pembangunan indus¬tri wisata. Melalui Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 te¬lah dilakukan pula penyederhanaan proses perizinan sehingga izin untuk membangun sarana wisata dibatasi pada dua jenis, yaitu izin sementara dan izin tetap. Dalam pada itu, kebijak¬sanaan yang ditempuh dalam° pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri diarahkan pada pemberian perlindungan dan pe¬ningkatan keterampilan tenaga kerja. Adapun langkah-langkah untuk menghemat penggunaan devisa antara lain berupa mendo¬rong penggunaan jasa perusahaan penerbangan dalam negeri dan menaikkan biaya Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri dari
Rp 150.000 menjadi Rp 250.000 bagi setiap orang yang beper¬gian ke luar negeri.

Sementara itu pinjaman dari luar negeri masih tetap di¬manfaatkan untuk pembiayaan pembangunan. Dana tersebut ber¬fungsi sebagai pelengkap pembiayaan pembangunan dan harus me¬menuhi persyaratan bahwa penggunaannya sesuai dengan rencana dan program pembangunan, terlepas dari ikatan politik, mence¬gah ketergantungan pada luar negeri; sedang pelunasannya ma¬sih dalam batas-batas kemampuan neraca pembayaran di masa men¬datang.

Guna menunjang pengembangan industri dan perluasan ke¬sempatan kerja, dilanjutkan usaha-usaha agar sejauh mungkin barang-barang yang pembeliannya dibiayai dengan pinjaman luar negeri tidak diimpor dalam bentuk jadi melainkan berupa kom¬ponen, keterampilan dan keahlian yang dapat meningkatkan ka-pasitas produksi domestik. Begitu pula terus diusahakan untuk melepaskan kaitan pinjaman luar negeri dengan pembelian dari negara-negara pemberi pinjaman, sehingga dana bersangkutan dapat digunakan untuk membeli hasil-hasil industri dalam ne¬geri ataupun hasil-hasil produksi negara-negara berkembang.

Kebijaksanaan pengelolaan pinjaman luar negeri ditujukan untuk mengendalikan perbandingan pelunasan angsuran dan pem¬bayaran bunga pinjaman terhadap penghasilan devisa dari eks¬por pada tingkat yang wajar dan aman. Sehubungan dengan itu, sejak bulan Oktober 1984 telah diusahakan pengurangan penggu¬naan pinjaman berupa kredit ekspor yang mempunyai persyaratan kurang lunak. Sementara itu dilakukan usaha untuk memperoleh pinjaman khusus berupa bantuan program yang segera dapat di¬tarik dan bantuan untuk pembiayaan unsur Rupiah. Pinjaman tersebut dimaksudkan untuk mengatasi kesulitan kurangnya dana Rupiah pendamping dalam Anggaran Pembangunan dan untuk keper¬luan neraca pembayaran.

Dalam rangka memperlancar pelaksanaan proyek-proyek pem¬bangunan dan berkaitan dengan usaha mempercepat penggunaan dana yang berasal dari pinjaman luar negeri telah dilakukan berbagai langkah penyempurnaan tats cars pelaksanaan pinjaman luar negeri.

Dalam rangka menggiatkan kembali penanaman modal oleh sektor swasta, baik melalui modal dalam negeri maupun modal asing, sejak pertengahan tahun 1986 telah diambil serangkaian kebijaksanaan penyederhanaan prosedur perizinan, penyempurna
V/15

an Daftar Skala Prioritas, perlakuan yang lebih seimbang ter¬hadap perusahaan PMA dengan perusahaan PMDN, pemilikan saham peserta nasional dalam perusahaan PMA, jumlah investasi mini-mum bagi perusahaan PMA dan jangka waktu izin PMA.

Untuk memberikan kemudahan kepada perusahaan PMA dalam usaha memperoleh dana Rupiah yang diperlukan untuk pembiayaan investasinya, maka konversi atau penjualan devisa yang ber¬asal dari rekening valuta asing PMA dapat dilakukan pada bank devisa dan tidak wajib dijual kepada Bank Indonesia. Selain itu guna lebih meningkatkan pemanfaatan dana valuta asing, telah dicabut ketentuan pagu pinjaman luar negeri bank-bank devisa dan lembaga keuangan bukan bank. Dengan demikian bank-bank devisa dan lembaga keuangan bukan bank tidak lagi diba¬tasi pinjaman luar negerinya. Di samping itu dapat ditambah¬kan bahwa orang asing yang bekerja dan bertempat tinggal di Indonesia untuk kepentingan kantor perwakilan wilayah perusa¬haannya dibebaskan dari kewajiban memiliki Surat Keterangan Fiskal Luar Negeri (SKFLN).

Di bidang minyak dan gas bumi, untuk merangsang kembali para investor asing melakukan eksplorasi dan eksploitasi mi¬nyak mentah di Indonesia yang selama Repelita IV mengalami penurunan, maka pada tanggal 31 Agustus 1988 dikeluarkan ke¬bijaksanaan deregulasi di sektor minyak dalam bentuk perubah¬an persyaratan Kontrak Bagi Hasil yang kemudian disempurnakan lagi pada tanggal 23 Februari 1989. Pada dasarnya kedua kebi¬jaksanaan tersebut memberikan berbagai insentif untuk lebih meningkatkan eksplorasi, dan pengembangan lokasi produksi mi¬nyak khususnya untuk daerah-daerah sulit dan belum terjangkau selama ini. Insentif-insentif tersebut di antaranya meliputi penetapan perhitungan bagi hasil yang lebih menarik bagi kon-traktor yang menanamkan modalnya di lahan baru (baik lahan konvensional maupun lahan frontir) perubahan harga penyerahan minyak mentah pro rata dari US$ 0,20/bbl menjadi 10% harga ekspor, penurunan tarif pajak atas pendapatan kontraktor, PPh/PBDR, dari 56% menjadi 48%, penghapusan persyaratan ting¬kat komersialitas yang merupakan jaminan dari kontraktor bah¬wa Pemerintah akan memperoleh pendapatan minimal sebesar 25% dari nilai produksi lapangan yang bersangkutan. Sebagai peng¬ganti dari persyaratan tingkat komersialitas diberlakukan ke¬tentuan baru berupa kewajiban kontrak untuk melakukan penyi¬sihan minyak dari hasil produksinya sebesar 20% (First Tran-che Oil/First Tranche Petroleum) yang dibagi sebelum memper¬hitungkan biaya produksi.

Dalam rangka meningkatkan produksi gas maka selama peri¬ode Repelita IV dibangun tambahan kilang LNG dan kilang LPG yang baru. Tambahan kilang LNG untuk ekspor ke Korea Selatan telah dimulai sejak Januari 1982. Sementara itu kilang LPG yang baru ditujukan untuk memenuhi kontrak jangka panjang sebesar 1,96 juta ton/tahun untuk masa 10 tahun dengan pihak Jepang. Ekspor perdana LPG ke Jepang dilakukan pada bulan Agustus 1988.

2. Perkembangan Neraca Pembayaran

Selama Repelita IV, secara keseluruhan situasi neraca pembayaran tetap terkendalikan dengan baik walaupun terdapat tekanan-tekanan yang cukup berat khususnya selama tiga tahun pertama. Faktor utama yang berdampak negatif adalah kemerosot¬an harga ekspor minyak bumi. Pada tahun 1986/87 harga komodi¬ti ini adalah 57,1% lebih rendah dibandingkan dengan harganya pada tahun 1983/84. Sebagai akibatnya nilai ekspor minyak dan gas bumi dalam periode yang sama merosot dengan 51,8%. Peran¬an ekspor minyak dan gas bumi dalam ekspor keseluruhan menu-run. Nilai ekspor minyak dan gas bumi yang pada tahun 1983/84 masih merupakan 72,9% dari seluruh nilai ekspor, menurun men¬jadi 50,9% pada tahun 1986/87. Dalam tahun 1987/88 dan 1988/89 laju kenaikan dalam nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi merupakan faktor pendorong pokok ke arah perbaikan neraca pembayaran (lihat Tabel V-1).

Dalam periode 1984/85 - 1988/89 nilai ekspor keseluruhan hampir tidak mengalami perubahan. Hal itu disebabkan oleh me¬nurunnya nilai ekspor minyak bumi rata-rata sebesar 16,1% per tahun, yang diimbangi oleh peningkatan nilai ekspor gas bumi dan ekspor di luar minyak dan gas bumi masing-masing dengan rata-rata 1,9% dan 17,8% setiap tahunnya. Dalam tahun 1988/89 realisasi nilai ekspor seluruhnya mencapai 63,7% dari sasaran Repelita IV karena nilai ekspor minyak dan gas bumi hanya men¬capai 37,5% dari sasaran untuk komoditi tersebut. Sebaliknya nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi dalam tahun 1988/89 melebihi sasaran Repelita IV. Laju pertumbuhan rata-rata eks¬por di luar minyak dan gas bumi selama masa 1984/85 - 1988/89 adalah 17,8% per tahun dibandingkan dengan sasaran 15,8% yang diproyeksikan untuk Repelita IV (lihat Tabel V - 2). Ekspor di luar minyak dan gas bumi meningkat sangat pesat, yaitu se¬besar rata-rata 34,5% per tahun, selama 2 tahun terakhir Re¬pelita IV. Perkembangan tersebut merupakan dampak positif da¬ri kebijaksanaan devaluasi tahun 1986 dan kebijaksanaan dere¬gulasi dan debirokratisasi yang sejak tahun 1986 terus di
TABEL V – 1

RINGKASAN NERACA PEMBAYARAN,
1983/84 – 1988/89
(dalam juta US dollar)



1)    Angka diperbaiki
2)    Angka sementara
3)    Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan impor BBM
senilai US $ 983 juta
4)    Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
5)    Pokok pinjaman


VI/18

TABEL V – 2

NERACA PEMBAYARAN MENURUT REPELITA IV DAN REALISASI
1984/85 – 1988/89
(juta US dollar)


1)    Angka sementara
2)    Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)
3)    Pokok pinjaman
4)    Termasuk bantuan khusus

V/19
TABEL V – 3

NILAI EKSPOR (F.O.B.)
1983/84 – 1988/89
(dalam juta US dollar)


1)    Angka sementara
2)    Termasuk pertukaran ekspor minyak bumi mentah dengan BBM
sebagai hasil pengolah (cross purchase) senilai US $ 983 juta
3)    Termasuk gas minyak bumi cair (LPG)


V/20

GRAFIK V – 1

NILAI EKSPOR (F.O.B.),
1983/84 – 1988/89














VI/21

TABEL V - 4
NILAI EKSPOR DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM CAIR (F.O.B.),
1983/84 - 1988/89
(dalam juta US dollar)

1) Angka sementara

V/22

tingkatkan. Sementara itu peranan ekspor di luar minyak dan gas bumi berhasil ditingkatkan dari 27,1% pada tahun 1983/84 menjadi 61,5% pada akhir Repelita IV .

Nilai impor (f.o.b.) selama Repelita IV rata-rata menu-run dengan 2,6% setiap tahunnya. Penurunan tersebut disebab¬kan oleh penurunan impor sebesar rata-rata 0,9% per tahun un¬tuk sektor di luar minyak dan gas bumi, 10,2% per tahun untuk sektor minyak bumi serta 5,8% per tahun untuk sektor gas bumi. Sebagai akibat dari kegiatan ekonomi yang lesu, nilai impor di luar minyak dan gas bumi selama tiga tahun pertama Repe¬lita IV rata-rata menurun dengan 10,0% per tahun dan baru dalam tahun 1987/88 mulai meningkat kembali dengan cepat, yaitu dengan kenaikan sebesar rata-rata 14,4% per tahun sela¬ma dua tahun terakhir Repelita IV. Sasaran Repelita IV adalah kenaikan sebesar rata-rata 8,4% per tahun untuk impor di luar sektor minyak dan gas bumi, sehingga realisasi impor tersebut pada akhir Repelita IV adalah 36,2% di bawah tingkat yang diproyeksikan.
Secara netto pengeluaran devisa untuk jasa-jasa selama periode Repelita IV rata-rata menurun dengan 0,8% per tahun. Jasa-jasa sektor di luar minyak dan gas bumi rata-rata naik sebesar 3,6% per tahun, jasa-jasa sektor minyak bumi menurun sebesar 10,8% per tahun dan jasa-jasa sektor gas bumi naik sebesar 2,7% per tahun.

Pada awal Repelita IV, defisit transaksi berjalan menu-run dengan drastis dari US$ 4.151 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 1.968 juta dalam tahun 1984/85. Hal ini terutama disebabkan karena nilai impor di luar minyak dan gas bumi menurun dengan US$ 1.185 juta, sedangkan nilai ekspor di luar minyak bumi meningkat sebesar US$ 540 juta dan penghasilan devisa netto dari sektor minyak dan gas bumi naik dengan US$ 445 juta. Penurunan impor terjadi karena impor yang dibiayai dengan pinjaman luar negeri yang bersyarat kurang lunak dan komersial menurun dengan 35,5% sebagai akibat kebijaksanaan penjadwalan kembali sejumlah proyek Pemerintah dan kebijaksa¬naan pembatasan penggunaan kredit ekspor. Dalam tahun 1986/87 defisit transaksi berjalan melonjak menjadi US$ 4.051 juta karena harga ekspor minyak bumi merosot drastis, yaitu turun dengan 52,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sebagai akibatnya sehingga penghasilan devisa netto dari sektor minyak dan gas bumi dalam tahun tersebut menurun dengan US$ 3.539 juta. Pada tahun-tahun berikutnya defisit transaksi berjalan dapat ditekan kembali menjadi US$ 1.707 juta dalam tahun
V/23

TABEL V – 5

NILAI IMPOR (F.O.B.),
1983/84 – 1988/89
(dalam juta US dollar)




1)    Angka diperbaiki
2)    Angka sementara
3)    Termasuk BBM sebagai hasil pertukaran ekspor
minyak bumi mentah senilai US $ 983 juta








V/24

GRAFIK V – 2

NILAI IMPOR (F.O.B.)
1983/84 – 1988/89

















V/25

TABEL V - 6
NILAI IMPOR DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM CAIR (F.O.B.),
1983/84 - 1988/89
(dalam juta US dollar)



1)    Angka diperbaiki
2)    Angka sementara



V/26

1987/88 dan US$ 1.859 juta dalam tahun 1988/89. Perkembangan ini terjadi karena perbaikan harga minyak bumi dan peningkat¬an pesat dari nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi.

Penggunaan pinjaman (disbursement) Pemerintah menurun dari US$ 5.793 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 3.519 juta dalam tahun 1984/85 dan US$ 3.432 juta dalam tahun 1985/86. Perkembangan ini disebabkan karena pinjaman proyek bersyarat kurang lunak dan pinjaman komersial menurun dari US$ 4.070 juta dalam tahun 1983/84 menjadi berturut-turut US$ 1.996 juta dan US$ 2.015 juta dalam tahun 1984/85 dan 1985/86. Penurunan pinjaman yang tidak bersyarat lunak merupakan aki-bat dari kebijaksanaan Pemerintah untuk mengutamakan pinjaman bersyarat lunak dan membatasi penggunaan pinjaman bersyarat lebih berat dalam rangka pengendalian hutang-hutang luar negeri.

Dalam rangka memperkuat neraca pembayaran dan menjaga posisi cadangan, pada tahun 1986/87 dilakukan penarikan kredit komersial sebesar US$ 1.419 juta atau kenaikan sebesar 161,8% dibandingkan dengan US$ 542 juta tahun sebelumnya. Di samping itu, sejak tahun 1986/87 mulai dipergunakan bantuan khusus yang merupakan sumber dana luar negeri yang bersyarat lunak dan tidak mengikat dalam rangka mendukung pelaksanaan program dan proyek pembangunan. Untuk tahun 1986/87 bantuan khusus tersebut berjumlah US$ 503 juta. Peranan bantuan program ter¬masuk bantuan khusus dan bantuan proyek bersyarat lunak dalam pinjaman Pemerintah semakin besar dalam tahun 1987/88 dan 1988/89. Apabila dalam tahun 1983/84 peranan bantuan bersya¬rat lunak tersebut hanya sebesar 29,7%, maka dalam tahun 1987/88 peranannya mencapai 69,7% dari jumlah pinjaman Peme¬rintah sebesar US$ 4.575 juta. Dalam tahun terakhir Repe¬lita IV jumlah pinjaman Pemerintah adalah sebesar US$ 6.588 juta dengan peranan bantuan bersyarat lunak sebesar 69,8%. Perkembangan ini mencerminkan perbaikan struktur hutang Indo¬nesia.

Pelunasan pokok pinjaman Pemerintah dalam masa Repe¬lita IV meningkat dengan rata-rata 30,1% per tahun. Faktor utama yang menyebabkan kenaikan tersebut adalah meningkatnya nilai Yen Jepang dan sejumlah valuta asing lainnya terhadap Dollar Amerika Serikat terutama sejak tahun 1985.

Transaksi-transaksi yang berhubungan dengan pemasukan modal lain terdiri dari transaksi modal dalam rangka penanam¬an modal luar negeri, transaksi modal yang dilakukan oleh badan usaha milik negara serta lalu lintas modal lainnya. Pe
V/27

nanaman modal asing naik dari USS 449 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 878 juta dalam tahun 1988/89 atau naik sebesar rata-rata 14,4% per tahunnya. Kebijaksanaan deregulasi di bi¬dang penanaman modal telah menyebabkan kenaikan dalam pena¬naman modal asing sebesar 58,4% dalam tahun 1987/88. Pinjaman yang dilakukan oleh BUMN selama Repelita IV menunjukkan ke-naikan sebesar rata-rata 16,0%. Pemasukan modal yang negatif pada tahun 1988/89 berkaitan dengan pelunasan hutang sektor swasta yang setelah diperhitungkan dengan modal yang masuk berjumlah USS 1.033 juta.

Berdasarkan perkembangan transaksi berjalan dan dengan memperhitungkan pemasukan modal netto di sektor Pemerintah dan sektor di luar Pemerintah, cadangan devisa dalam dua tahun pertama Repelita bertambah dengan US$ 697 juta. Me¬lonjaknya defisit transaksi berjalan pada tahun 1987/88 me¬nyebabkan penurunan cadangan devisa dengan US$ 738 juta. Da-lam tahun 1986/87 cadangan devisa bertambah kembali sebesar US$ 1.585 juta dan kemudian menurun sebesar USS 677 juta pada tahun terakhir Repelita IV. Cadangan devisa resmi pada akhir tahun 1988/89 mencapai jumlah US$ 6.011 juta. Jumlah cadangan tersebut cukup untuk membiayai impor (c & f) di luar sektor minyak dan gas bumi untuk rata-rata 5,3 bulan. Dengan demi¬kian, serangkaian langkah-langkah untuk menghadapi berbagai tantangan di bidang ekonomi selama masa Repelita IV telah juga berhasil mengembalikan kemantapan posisi neraca pemba-yaran, sekaligus memperkokoh landasan bagi pelaksanaan Repe¬lita V.

C.     EKSPOR

Selama tiga tahun pertama Repelita IV nilai ekspor seca¬ra keseluruhan rata-rata menurun sebesar 11,6% per tahun, dan kemudian meningkat dengan rata-rata 20,3% per tahun dalam periode 1987/88 - 1988/89. Nilai ekspor di luar minyak dan gas bumi selama tahun-tahun 1984/85 - 1986/87 naik dengan rata-rata 7,8% per tahun dan selama dua tahun terakhir Repe¬lita IV mencapai laju pertumbuhan sebesar rata-rata 34,5% per tahun. Perkembangan ekspor di luar minyak dan gas bumi terse-but berkaitan erat d ngan kebijaksanaan devaluasi yang ditem¬puh dalam bulan September 1986 dan kebijaksanaan deregulasi khususnya sejak tahun 1985. Di samping itu pasaran dunia untuk beberapa komoditi primer juga berkembang ke arah yang menguntungkan bagi negara-negara berkembang pengekspor komo¬diti tersebut, setelah kemerosotan yang terjadi dalam periode 1984/85. Untuk komoditi seperti teh, kopi dan tembakau
terjadi fluktuasi yang tajam, yaitu penurunan harga sebesar 11,6% dalam tahun 1985, kenaikan sebesar 16,2% dalam tahun 1986, kemerosotan dengan 28,7% dalam tahun 1987 dan kenaikan sebesar 0,2% dalam tahun 1988. Untuk hasil pertanian lainnya seperti minyak sawit harga meningkat dengan 29,4% dalam tahun 1987 dan 8,2% dalam tahun 1988. Harga hasil-hasil tambang me¬nunjukkan pelonjakan sebesar 17,2% dalam tahun 1987 dan 40,3% dalam tahun 1988. Perkembangan harga komoditi primer di pa-saran dunia mempunyai dampak yang cukup besar pada harga barang-barang ekspor dan nilai ekspor Indonesia (lihat Tabel V-7, V-8 serta Grafik V-3).
Selama Repelita IV, ekspor di luar minyak dan gas bumi masih terpusat pada kayu, tekstil, karat, kopi, minyak sawit, udang, kerajinan tangan dan beberapa hasil tambang. Sejak dua tahun terakhir Repelita IV barang-barang manufaktur menunjuk¬kan perkembangan yang menggembirakan. Peranan ekspor di luar minyak dan gas bumi terus meningkat dan mencapai 61,5% dari nilai ekspor Indonesia dalam tahun 1988/89.
Ekspor di luar minyak dan gas bumi terutama masih ditu¬jukan ke Jepang dan Amerika Serikat. Pangsa ekspor ke Jepang mengalami peningkatan dari 21,9% dalam tahun 1983/84 menjadi 24,0% dalam tahun 1988/89 yang berkaitan dengan meningkatnya nilai tukar Yen, sedangkan pangsa ekspor ke Amerika Serikat mengalami penurunan dari 19,4% menjadi 16,0%. Pangsa ekspor ke negara-negara ASEAN meningkat dari 14,9% menjadi 15,9%. Sebaliknya pangsa ekspor ke RRC mengalami penurunan dari 4,9% menjadi 3,5%. Dalam tahun 1988/89 juga dicatat adanya pening¬katan pemasaran ke negara-negara Timur Tengah dan Asia lain¬nya yaitu masing-masing sebesar 100,3% dan 39,3%.
Di dalam perkembangan ekspor di luar minyak dan gas bumi, ekspor kayu yang sebagian besar terdiri dari kayu lapis dan kayu gergajian masih menduduki peranan yang utama. Selama periode Repelita IV ekspor kayu menunjukkan kenaikan yang menggembirakan dengan nilai yang terus meningkat setiap tahunnya. Ekspor kayu lapis mengalami peningkatan setiap tahunnya baik nilai maupun volumenya. Sejalan dengan pesatnya perkembangan industri kayu lapis, maka selama empat tahun per¬tama Repelita IV, nilai ekspor kayu lapis meningkat sebesar rata-rata 33,5% per tahun, atau naik dari US$ 579,3 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 1.839,1 juta pada tahun 1987/88. Volume ekspor kayu lapis juga mengalami peningkatan sebesar rata-rata 24,3% per tahun. Dalam tahun 1988/89 nilai
V/29

TABEL V – 7

VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI, 1)
1983/84 – 1988/89
(Volume dalam ribu ton dan Nilai dalam juta US dollar)




1)    Nomor dalam kurung adalah urutan besarnya nilai ekspor pada tahun bersangkutan
2)    Angka-angka diperbaiki
3)    Angka-angka sementara



V/30

GRAFIK V – 3
VOLUME DAN NILAI BEBERAPA BARANG EKSPOR
DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI,
1983/84 – 1988/89



V/31

( LANJUTAN GRAFIK V - 3 )



( LANJUTAN GRAFIK V - 3 )




V/33
TABEL V – 8

HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR, 1)
1983/84 – 1988/89



1)    Harga rata-rata, kecuali harga kayu dan the (akhir bulan)
2)    Karet RSS III, New York dalam US $ sen/lb
3)    Kopi Robusta ex Palembang, New York dalam US $ sen/lb
4)    Minyak sawit ex Sumatera, London dalam US $/long ton
5)    Lada hitam ex Lampung, New York dalam US $ sen/lb
6)    Timah putih, London dalam £/long ton
7)    Kayu, US Lumber, Tokyo dalam 1.000 Y/meter kubik
8)    Plywood, Tokyo dalam ¥/lbr
9)    Tea Plain, London dalam £/kg


V/34

GRAFIK V — 4
HARGA BEBERAPA JENIS BARANG EKSPOR,
1983/84 — 1988/89
 
(LANJUTAN GRAFIK V – 4)

V/36

dan volume masing-masing naik sebesar 12,5% dan 12,1% menjadi US$ 2.069,0 juta dan 4.290,0 ribu ton dan menduduki peringkat pertama dari seluruh ekspor di luar minyak dan gas bumi de¬ngan pangsa sebesar 17,0%. Kenaikan ekspor kayu lapis terse-but dimungkinkan oleh tersedianya produksi kayu lapis Indone¬sia dan meningkatnya permintaan dari Jepang sebagai hasil pembentukan trading house kayu lapis Indonesia di negara ter¬sebut. Perlu ditambahkan bahwa ekspor kayu lapis jenis ter¬tentu ke Amerika Serikat tidak lagi mendapat fasilitas Gene¬ralized System of Preference (GSP), namun hal itu tidak mem¬pengaruhi nilai ekspornya.
Dalam pada itu, selama dua tahun pertama Repelita IV, nilai ekspor kayu bulat/gergajian dan olahan mengalami penu¬runan karena volume ekspornya menurun. Penurunan tersebut adalah akibat pembatasan ekspor kayu bulat secara bertahap sejak tahun 1980 serta adanya pelarangan ekspor kayu bulat mulai tahun 1985. Namun, dalam tiga tahun terakhir Repeli¬ta IV, nilai ekspor kayu gergajian dan olahan mengalami peningkatan kembali dengan semakin meningkatnya volume dan harganya. Dalam tahun 1988/89 nilai ekspor komoditi tersebut naik dengan 28,3% menjadi sebesar US 806,7 juta, dan volume¬nya naik dengan 13,7% menjadi 3.301,0 ribu ton. Berdasarkan negara tujuan, Jepang dan Amerika Serikat tetap merupakan negara tujuan utama ekspor kayu dengan pangsa masing-masing sebesar 27,6% dan 11,3%. Pembeli kayu lainnya adalah RRC (8,8%), Singapura (8,1%), Hongkong (7,0%), dan Taiwan (6,3%).
Selama Repelita IV, ekspor tekstil memperlihatkan per¬kembangan yang pesat dengan kenaikan rata-rata sebesar 36,4% per tahun, yaitu dari US$ 290,1 juta pada akhir Repelita III menjadi US$ 1.370,6 juta pada akhir Repelita IV. Perkembangan yang pesat tersebut telah menempatkan ekspor tekstil pada urutan kedua setelah kayu lapis di antara barang ekspor di luar minyak dan gas bumi dengan pangsa sebesar 11,2%. Perkem¬bangan ini didukung antara lain oleh peningkatan kuota ekspor pakaian jadi ke negara MEE, Amerika Serikat dan Kanada, di samping kemampuan produksi pakaian jadi Indonesia untuk meme¬nuhi kuota yang telah ditetapkan. Kenaikan tersebut terutama terjadi pada ekspor bahan pakaian dan pakaian jadi masing-masing sebesar 42,5% dan 24,2%. Ditinjau dari negara tujuan, Amerika Serikat masih tetap merupakan pembeli utama dengan pangsa sebesar 33,4%, disusul Inggris (10,2%), Singapura (7,6%), Jepang (6,7%). Republik Federasi Jerman (5,8%) dan Hongkong (5,4%).
V/37

Selama Repelita IV, perkembangan ekspor karet memperli¬hatkan fluktuasi. Dalam dua tahun pertama Repelita IV, nilai ekspor karat mengalami penurunan yang mencapai nilai terendah pada tahun 1985/86 yaitu sebesar US$ 714,4 juta atau penu¬runan sebesar 16,6% dari tahun sebelumnya. Penurunan tersebut disebabkan oleh penurunan harga di pasaran dunia. Dengan me-nguatnya pasaran karat dunia, maka sejak tahun 1986/87 nilai ekspor karat meningkat dan mencapai US$ 1.289,9 juta pada tahun 1988/89. Berdasarkan negara tujuan, Amerika Serikat merupakan negara tujuan utama dengan pangsa sebesar 45,5%. Negara-negara tujuan ekspor yang cukup penting lainnya adalah Singapura (22,3%), Jepang (4,1%), Spanyol (3,08%) dan Repu¬blik Federasi Jerman (2,9%).
Sementara itu, nilai ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan kenaikan rata-rata 22,1% per tahun dari US$ 326,5 ju¬ta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 886,3 juta pada tahun 1988/89. Perkembangan yang meningkat pesat dari ekspor hasil tambang di luar timah dan aluminium tersebut terjadi selama periode empat tahun terakhir Repelita IV dari US$ 335,5 juta tahun 1985/86 menjadi US$ 886,3 juta pada tahun 1988/89. Ini disebabkan oleh meningkatnya ekspor beberapa hasil tambang seperti tembaga dan nikel serta diizinkannya ekspor emas yang dimulai sejak tahun 1986.
Secara keseluruhan ekspor udang, ikan dan hasil hewan lainnya telah berkembang cukup baik selama Repelita IV. Pada tahun 1984/85 nilai ekspornya mengalami penurunan sebesar 20,5% dari US$ 276,0 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 219,3 juta. Selanjutnya berturut-turut selama empat tahun terakhir Repelita IV, nilai ekspornya mengalami perkembangan yang pesat dengan kenaikan rata-rata 36,0% per tahun menjadi US$ 750,1 juta dalam tahun 1988/89. Peningkatan tersebut antara lain disebabkan semakin meningkatnya ekspor udang. Da-lam tahun 1988/89 nilai ekspor udang meningkat sebesar 60,0% menjadi US$ 588,3 juta. Hal ini terutama disebabkan oleh ke¬naikan harga satuan udang sebesar 42,9%. Sebagai akibat dari berkurangnya pasokan udang dari India dan Taiwan. Selain itu volume ekspornya juga mengalami kenaikan sebesar 12,0%. Pe¬ningkatan volume ekspor udang tersebut didukung oleh pening¬katan usaha budi daya udang tambak yang dilakukan baik oleh tambak rakyat dan program Tambak Inti Rakyat (TIR) maupun oleh perusahaan-perusahaan yang berskala besar dalam rangka PMDN dan PMA pada tahun-tahun sebelumnya. Negara tujuan utama ekspor udang adalah Jepang dengan pangsa ekspor sebesar
78,3%. Negara-negara tujuan ekspor lainnya adalah Singapura (4,5%), Amerika Serikat (4,4%), Hongkong (2,7%), Perancis (2,6%) dan Belgia (2,5%).

Dalam tiga tahun pertama Repelita IV, ekspor kopi meng¬alami kenaikan dengan tingkat tertinggi dicapai pada tahun 1986/87 dengan nilai sebesar US$ 752,2 juta atau peningkatan sebesar 14,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Tingginya ekspor pada tahun tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan harga kopi di pasaran dunia. Di samping itu pada tahun terse-but volume ekspor meningkat menjadi 309,4 ribu ton atau naik 5,4% dari tahun sebelumnya. Peningkatan volume ekspor dimung¬kinkan karena adanya pembekuan kuota ekspor kopi oleh ICO, yang kemudian mendorong peningkatan produksi kopi Indonesia. Selanjutnya, dalam tahun 1987/88 nilai ekspor kopi merosot menjadi US$ 496,5 juta. Penurunan ini disebabkan oleh turun-nya harga di pasar dunia sebagai akibat berlimpahnya penawar¬an kopi di pasar dunia, dan juga karena diberlakukannya kem¬bali sistem kuota ekspor oleh ICO. Penetapan kuota tersebut menyebabkan turunnya volume ekspor sebesar 11,4% menjadi 274,2 ribu ton. Dalam tahun 1988/89 nilai ekspor kopi meng¬alami kenaikan menjadi US$ 602,6 juta, terutama sebagai akibat dari peningkatan volume ekspor sebesar 26,4%. Dalam tahun 1988/89, Indonesia berhasil memperoleh kenaikan jatah kopi dari ICO sehingga menjadi 5,19% dari kuota global atau sebesar 162.293 ton. Penetapan kuota oleh ICO tersebut masih berada di bawah kemampuan ekspor kopi Indonesia. Keadaan ini mendorong Indonesia untuk meningkatkan pangsa ekspornya ke negara-negara non kuota. Ditinjau dari negara tujuan ekspor, Jepang merupakan pembeli utama dengan pangsa sebesar 18,5%. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Amerika Serikat (10,6%), Republik Federasi Jerman (9,5%), Aljazair (8,3%), Korea Se¬latan (4,3%) dan RRC (4,3%).

Ekspor kerajinan    tangan menunjukkan perkembangan yang menggembirakan selama Repelita IV dengan nilai ekspor yang meningkat setiap tahunnya kecuali pada tahun 1986/87. Pada tahun 1984/85 dan 1985/86, nilai ekspor komoditi ini bertu¬rut-turut mengalami kenaikan menjadi US$ 116,0 juta dan US$ 186,4 juta, kemudian tahun 1986/87 nilai ekspornya menurun menjadi US$ 142,2 juta. Selanjutnya, berturut-turut dalam tahun 1987/88 dan tahun 1988/89 nilai ekspornya meningkat kembali menjadi sebesar US$ 284,3 juta dan US$ 424,3 juta. Peningkatan ekspor tersebut menyebabkan pangsa ekspor ke¬rajinan tangan terhadap ekspor di luar minyak dan gas bumi mengalami kenaikan dari 3,0% menjadi 3,5% dan menempati urutan
kedelapan di dalam kelompok ekspor di luar minyak dan gas bumi. Kenaikan ekspor hasil kerajinan ini terutama bersumber pada kenaikan volume ekspornya sebanyak 79,7%. Perkembangan ini menunjukkan bahwa barang-barang hasil industri kerajinan rakyat makin dapat menembus pasar dunia. Negara tujuan ekspor utama adalah Jepang (23,3%), Amerika Serikat (16,4%), Singa¬pura (8,7%), Inggeris (6,7%), Hongkong (4,0%), Australia (3,9%), Belanda (3,8%), Italia (3,7%), Republik Federasi Jer¬man (3,6%) dan Perancis (2,7%).

Ekspor aluminium dalam dua tahun pertama Repelita IV menunjukkan peningkatan. Pada akhir Repelita III nilai ekspor aluminium mencapai US$ 164,9 juta dan kemudian meningkat men¬jadi US$ 208,4 juta dalam tahun 1984/85 dan US$ 223,0 juta dalam tahun 1985/86. Tahun 1986/87 nilai ekspornya menurun menjadi US$ 200,8 juta karena menurunnya volume ekspor yang disebabkan oleh penurunan produksi sebagai akibat terjadinya kekurangan penyediaan listrik dari pusat tenaga listrik di PLTA Asahan. Selanjutnya dalam tahun 1987/88, nilai ekspor aluminium meningkat kembali menjadi US$ 245,4 juta yang ter¬utama disebabkan oleh kenaikan harga. Dalam tahun 1988/89 nilai ekspor aluminium mengalami kenaikan lagi menjadi US$ 308,3 juta, yang sebagian akibat dari kenaikan harga. Kenaik¬an harga selama 2 tahun terakhir tersebut disebabkan oleh adanya peningkatan konsumsi untuk keperluan industri pesawat terbang di negara-negara industri. Negara tujuan ekspor aluminium adalah Jepang dengan pangsa sebesar 93,0%. Negara tujuan ekspor lainnya yang cukup penting adalah Singapura (6,6%).

Ekspor minyak sawit dan biji kelapa sawit juga menun¬jukkan perkembangan yang cukup menggembirakan selama Repe¬lita IV. Berturut-turut selama tahun 1984/85 dan 1985/86 nilai ekspornya mengalami peningkatan masing-masing menjadi US$ 100,3 juta dan US$ 174,3 juta. Melonjaknya ekspor pada tahun 1985/86 adalah karena meningkatnya volume ekspor sebe¬sar dari 193,2 ribu ton pada tahun 1984/85 menjadi 518,6 ribu ton pada tahun 1985/86. Sebaliknya tahun 1986/87, nilai eks¬pornya mengalami penurunan yang cukup berarti menjadi US$ 113,6 juta sebagai akibat dari kemerosotan harga minyak sawit di pasar dunia. Salah satu penyebab dari kemerosotan harga ini adalah meningkatnya pasokan Malaysia sebagai penghasil utama minyak sawit dunia. Dalam dua tahun terakhir Repe¬lita IV, nilai ekspornya kembali menunjukkan peningkatan yang besar, yaitu menjadi US$ 213,2 juta pada tahun 1987/88 dan menjadi US$ 323,4 juta pada tahun 1988/89. Pada tahun
1988/89, baik harga maupun volume ekspor meningkat. Kenaikan tersebut berkaitan erat dengan meningkatnya permintaan terha¬dap minyak sawit sebagai barang pengganti minyak kedele. Se¬perti diketahui, pasokan minyak kedele di pasar dunia men¬jadi agak ketat karena menurunnya produksi kedele Amerika Serikat dan Brazil sebagai akibat dari kekeringan yang di¬alami negara tersebut. Negara tujuan utama ekspor minyak sawit adalah Belanda dengan pangsa sebesar 51,9%. Pasar lain¬nya adalah Inggris (10,4%), India (9,7%), Italia (7,9%) dan Kenya (5,9%).

Dalam Repelita IV nilai ekspor timah menunjukkan pe¬nurunan dan mencapai nilai terendah dalam tahun 1987/88 yaitu sebesar US$ 143,0 juta. Dengan nilai ekspor sebesar US$ 309,0 juta pada tahun 1983/84, hal ini berarti adanya penurunan se¬besar rata-rata 17,5% per tahun. Penurunan nilai ekspor timah tersebut terutama disebabkan oleh kemerosotan harga timah di pasaran dunia yang berlangsung sejak tahun 1985. Kemerosotan harga timah tersebut bersumber pada ketidakmampuan Dewan Timah Internasional (ITC) dalam mengatur cadangan penyangga timah sehingga menyebabkan terjadinya surplus penawaran timah di pasaran dunia yang mencapai 82 ribu ton. Dalam tahun 1988/89, nilai ekspor timah kembali meningkat menjadi US$ 165,3 juta sebagai akibat dari kelanjutan dari pengaturan kuota oleh Association of Tin Producing Countries (ATPC) yang diberlaku¬kan sejak tahun 1987. Untuk tahun 1988/89 (Maret s/d Februari) Indonesia memperoleh peningkatan kuota ekspor timah sebesar 29.000 ton dari jumlah kuota keseluruhan 101.900 ton. Dapat ditambahkan bahwa keberhasilan tindakan penetapan kuota pa¬sokan untuk mengatasi merosotnya harga timah dunia tersebut adalah juga berkat dukungan dan kesediaan negara-negara di luar ATPC seperti Brazil dan RRC untuk mengurangi produksinya masing-masing. Negara tujuan utama ekspor timah adalah Singa¬pura dengan pangsa sebesar 82,3%. Negara tujuan lainnya adalah Belanda (12,2%) dan Uni Soviet (3,4%).

Barang-barang ekspor hasil pertanian lainnya yaitu tapioka dan bahan makanan lainnya, teh, lada, rotan, tembakau, dan bungkil kopra menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi se-lama periode Repelita IV. Selama dua tahun terakhir Repe¬lita IV ekspor tapioka dan bahan makanan lainnya menunjuk¬kan kenaikan yang berarti dan mencapai US$ 195,6 juta dan US$ 283,9 juta, berkat dipenuhinya kuota ekspor tapioka ke negara MEE.

Sementara itu selama periode 1984/85 - 1987/88 nilai eks¬por lada menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan
dengan kenaikan rata-rata sebesar 28,5% per tahun dari US$ 57,8 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 157,6 juta pada ta¬hun 1987/88. Kenaikan tersebut terutama disebabkan oleh ke¬naikan harga sedangkan volumenya justru menurun. Dalam tahun 1988/89, nilai ekspor lada mengalami penurunan sehingga men¬jadi US$ 151,5 juta sebagai akibat menurunnya harga lada di pasaran dunia. Pada waktu itu pasokan lada dari negara pesaing antara lain Sarawak meningkat. Nilai ekspor teh mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 12,3% pada tahun 1987/88 dan 12,5% pada tahun 1988/89 menjadi sebesar US$ 118,8 juta dan US$ 133,6 juta.

Sementara itu, perkembangan yang sebaliknya terjadi pada ekspor rotan. Baik nilai maupun volume ekspor rotan meng¬alami penurunan yang berarti dari US$ 162,1 juta dalam tahun 1987/88 menjadi US$ 36,8 juta dalam tahun 1988/89. Penurunan tersebut adalah sebagai dampak kebijaksanaan untuk melarang ekspor rotan mentah atau rotan barang setengah jadi. Nilai ekspor tembakau juga memperlihatkan penurunan selama dua tahun terakhir Repelita IV berturut-turut sebesar 13,9% dan 0,3% menjadi sebesar US$ 66,9 juta dan US$ 66,7 juta.

Sementara itu, selama periode Repelita IV nilai ekspor kulit menunjukkan peningkatan yang cukup berarti. Jika pada awal Repelita IV nilai ekspornya hanya mencapai US$ 40,8 juta maka pada tahun akhir Repelita IV nilai ekspornya naik menjadi sebesar US$ 73,9 juta. Sedangkan untuk bungkil kopra, perkembangan ekspornya berfluktuasi. Jika pada tahun pertama Repelita IV nilai ekspornya turun 44,8% dibandingkan dengan tahun 1983/84 menjadi sebesar US$ 18,5 juta, maka pada tahun 1985/86 nilai ekspor naik menjadi US$ 35,3 juta dan ke¬mudian dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 33,9 juta. Dalam tahun 1987/88 nilai ekspor komoditi ini kembali naik menjadi sebe¬sar US$ 40,7 juta dan kemudian turun dalam tahun 1988/89 men¬jadi US$ 37,6 juta.

Barang-barang ekspor hasil industri seperti pupuk urea dan semen menunjukkan perkembangan yang cukup menggembirakan selama periode Repelita IV. Pada tahun pertama Repelita IV, nilai ekspor pupuk urea mengalami penurunan sebesar 38,0% menjadi US$ 31,0 juta. Penurunan tersebut diakibatkan oleh menurunnya volume ekspor yang cukup berarti, yaitu sebesar 43,8%. Selanjutnya dalam periode 1985/86 - 1988/89 nilai ekspor pupuk urea menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, kecuali 1986/87. Kenaikan tersebut disebabkan oleh peningkat¬an volume maupun harga, kecuali dalam tahun 1988/89 di mana
peningkatan nilai ekspor disebabkan oleh kenaikan harga se¬dangkan volumenya menurun. Penurunan volume ini diakibatkan oleh makin meningkatnya konsumsi di dalam negeri. Nilai eks¬por pupuk urea tahun 1988/89 adalah sebesar US$ 126,0 juta. Nilai ekspor semen menunjukkan kenaikan dalam periode Repe¬lita IV dari US$ 11,3 juta pada tahun dasar 1983/84 mencapai US$ 81,0 juta pada tahun 1988/89. Peningkatan tersebut dise¬babkan kenaikan volume ekspor. Di lain pihak nilai ekspor alat listrik mengalami kemerosotan tajam dari US$ 134,1 juta pada tahun 1984/85 menjadi US$ 16,3 juta pada tahun ter¬akhir Repelita IV. Hal ini antara lain disebabkan oleh per¬saingan ekspor barang-barang sejenis dari negara industri baru seperti Taiwan, Korea dan Singapura. Perlu dikemukakan bahwa perkembangan barang lainnya yang di dalamnya termasuk pula barang-barang ekspor hasil industri seperti barang logam, kertas, galas kaca dan barang plastik mengalami peningkatan yang sangat pesat terutama dalam dua tahun terakhir Repe¬lita IV. Pada tahun 1987/88 nilai ekspor tersebut naik dengan 75,0% menjadi US$ 1.470,5 juta dan pada tahun 1988/89 naik lagi dengan 48,3% menjadi US$ 2.180,2 juta (lihat Tabel V-7, V-8 serta Grafik V-3).

Sejalan dengan perkembangan harga yang kurang menguntung¬kan dan adanya kuota yang ditetapkan, nilai ekspor minyak bumi Indonesia, selama periode Repelita IV mengalami penurun¬an rata-rata 16,1% per tahun. Khusus untuk tahun 1988/89 nilai ekspornya mengalami penurunan sebesar 18,7% dari US$ 6.159 juta tahun 1987/88 menjadi US$ 5.007 juta.

Nilai ekspor gas alam cair selama periode Repelita IV me¬nunjukkan perkembangan yang berfluktuasi. Selama dua tahun pertama Repelita IV menunjukkan masing-masing kenaikan sebe¬sar 40,4% dan 7,5% menjadi US$ 3.369 juta dan US$ 3.621 juta, sedangkan pada tahun 1986/87 nilai ekspornya menurun 40,1% menjadi US$ 2.168 juta. Penurunan tersebut disebabkan oleh menurunnya harga penjualan gas alam cair. Namun tahun 1987/88 ekspor komoditi ini naik dengan 23,7% menjadi US$ 2.682 juta dan tahun 1988/89 kembali menurun 1,8% menjadi sebesar US$ 2.633 juta. Penurunan pada tahun terakhir Repelita IV terse-but disebabkan oleh menurunnya harga rata-rata ekspor gas alam cair sebesar 11,0% menjadi US$ 2,65 per MMBTU yang ber-kaitan dengan jatuhnya harga ekspor minyak bumi. Dipihak lain volume ekspor gas alam cair telah meningkat sebesar 5,7% men¬jadi 945,2 juta MMBTU karena adanya peningkatan ekspor ke Jepang dan dimulainya ekspor ke Korea Selatan. Dalam pada itu, ekspor LPG (Liquefied Petroleum Gas) selama tahun 1988/89
V/43

meningkat sebesar 28,4% menjadi US$ 123,8 juta sebagai akibat dari kenaikan volume ekspornya sebesar 1.;352,6 ribu metrik ton. Kenaikan yang cukup besar pada volume ekspor LPG ini terjadi setelah dilakukannya ekspor perdana ke Jepang pada bulan Agustus 1988 dalam rangka memenuhi kontrak jangka pan¬jang sebesar 1,95 juta ton per tahun untuk masa 10 tahun. Di samping itu pemanfaatan LPG di dalam negeri juga mengalami peningkatan khususnya untuk keperluan rumah tangga. Produksi LPG untuk keperluan ekspor ke Jepang tersebut dilakukan dari kilang khusus ekspor di Arun dan di Badak (lihat Tabel V-3 serta Grafik V-1).


D.     IMPOR DAN JASA-JASA

Perkembangan impor selama Repelita IV berkaitan erat de¬ngan laju pertumbuhan produksi di dalam negeri. Pola dan per¬tumbuhan impor juga sangat dipengaruhi oleh langkah-langkah kebijaksanaan yang diambil, antara lain kebijaksanaan deva¬luasi Rupiah dalam tahun 1986 serta serangkaian kebijaksanaan deregulasi guna mengurangi perlindungan yang berlebihan seka¬ligus meningkatkan efisiensi dan menurunkan biaya produksi yang diterapkan sejak pertengahan tahun 1986.

Nilai impor (f.o.b) selama tiga tahun pertama Repelita IV menurun dengan rata-rata 11,1% per tahun dari US$ 16.304 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 11.451 juta dalam tahun 1986/87. Penurunan terjadi baik pada impor minyak bumi maupun impor di luar minyak dan gas bumi. Penurunan impor di luar sektor minyak dan gas bumi disebabkan antara lain karena ada¬nya kebijaksanaan penjadwalan kembali proyek-proyek Pemerin¬tah yang dibiayai dengan dana dari luar negeri dan lesunya kegiatan ekonomi dalam negeri dalam periode 1985/86 - 1986/87. Dalam dua tahun berikutnya nilai impor ini meningkat rata-rata sebesar 11,8% per tahun yaitu dari US$ 11.451 juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 14.311 juta dalam tahun 1988/89.

Nilai impor sektor minyak bumi selama periode Repelita IV menurun sebesar rata-rata 10,2% per tahun yaitu dari US$ 3.273 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 1.912 juta dalam tahun 1988/89. Hal ini disebabkan oleh menurunnya kegiatan eksplorasi sebagai akibat turunnya harga minyak di pasaran internasional dan berkurangnya impor minyak mentah serta impor bahan bakar minyak.

Nilai impor di luar sektor minyak dan gas bumi, dalam dua tahun terakhir Repelita IV meningkat dari US$ 9.356 juta
dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 12.239 juta dalam tahun 1988/89 atau sebesar rata-rata 14,4% per tahun. Perkembangan ini disebabkan oleh meningkatnya kegiatan ekspor, produksi dan investasi di dalam negeri.

Sementara itu nilai impor gas alam cair, selama Repe¬lita IV mengalami penurunan rata-rata 5,8% per tahun dari US$ 216 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 160 juta pada tahun 1988/89 (lihat Tabel V-5).

Perkembangan nilai impor c & f di luar minyak dan gas bumi berdasarkan pembukaan L/C selama Repelita IV mengalami peningkatan baik dalam hal impor bahan baku dan penolong, impor barang modal dan impor barang konsumsi. Peranan impor bahan baku dan penolong masih tetap menduduki urutan pertama dan mencapai 45,6% dalam tahun 1988/89, kemudian disusul oleh barang modal sebesar 34,1% dan kemudian konsumsi sebesar 20,3%. Dalam tahun 1983/84 peranan ketiga kelompok barang tersebut adalah 46,3% untuk bahan baku dan penolong, 34,1% untuk barang modal dan 19,6% untuk barang konsumsi (lihat Tabel V-10 serta Grafik V-5).

Dalam dua tahun terakhir Repelita IV impor bahan baku dan penolong telah meningkat dari US$ 3.391,8 juta dalam tahun 1986/87 menjadi US$ 4.503,5 juta dalam tahun 1988/89. Dalam periode yang sama impor barang modal meningkat dari    US$ 2.660,4 juta menjadi US$ 3.367,8 juta dan impor barang konsumsi dari US$ 1.749,3 juta menjadi US$ 2.004,8 juta. Hal ini berarti kenaikan rata-rata sebesar masing-masing 15,2%, 12,5% dan 7,1% per tahun.

Jenis komoditi bahan baku dan penolong yang impornya me¬ningkat agak menyolok adalah: benang tenun kapas yang mening¬kat dari US$ 0,7 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 7,9 juta dalam tahun 1988/89; benang tenun dari US$ 40,2 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 190,5 juta dalam tahun 1988/89; kapas kasar dari US$ 157,8 juta dalam tahun 1983/84 menjadi US$ 545,1 juta dalam tahun 1988/89.

Untuk impor barang modal, jenis komoditi yang dalam tahun terakhir Repelita IV meningkat agak tajam adalah impor pipa besi atau baja, yang meningkat dari US$ 31,0 juta dalam tahun 1987/88 menjadi US$ 59,3 juta dalam tahun 1988/89; impor me-sin untuk keperluan industri dan perdagangan, meningkat men¬jadi US$ 372,2 juta dalam tahun 1988/89 dibandingkan dengan US$ 217,0 juta pada tahun 1987/88 serta impor aparat penerima
V/45

dan pemancar meningkat dari US$ 219,0 juta dalam tahun 1987/88 menjadi US$ 243,4 juta dalam tahun 1988/89.

Di antara barang-barang konsumsi yang menunjukkan pening¬katan adalah impor bahan makanan lainnya (termasuk gandum) yaitu meningkat dari US$ 229,2 juta dalam tahun 1986/87 men¬jadi US$ 317,1 juta dalam tahun 1988/89 dan gula pasir dari US$ 2,4 juta menjadi US$ 101,8 juta. Impor komoditi bukan pangan menurun dari US$ 1.091,5 juta dalam tahun 1986/87 men¬jadi US$ 891,1 juta dalam tahun 1988/89 (lihat Tabel V-9).

Selama Repelita IV, pengeluaran jasa-jasa netto menurun rata-rata sebesar 0,8% yaitu dari US$ 7.663 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 7.372 juta pada tahun terakhir Repe¬lita IV. Hal ini terjadi karena adanya penurunan jasa-jasa sektor minyak dan gas bumi sebesar rata-rata 6,9% per tahun yaitu dari US$ 3.589 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 2.508 juta pada tahun 1988/89, sedangkan pengeluaran jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi mengalami kenaikan sebesar rata-rata 3,6% per tahun yaitu dari US$ 4.074 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 4.864 juta pada tahun 1988/89. Penurunan pengeluaran jasa-jasa sektor minyak dan gas bumi terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak, sedangkan peningkatan pengeluaran jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi terutama disebabkan oleh meningkatnya pembayaran bunga atas hutang luar negeri.

Selama Repelita IV penerimaan dari pariwisata mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar rata-rata 28,0% per tahun dari US$ 417 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 1.431 juta pada tahun 1988/89. Sementara itu penerimaan dari jasa-jasa pengiriman tenaga kerja mengalami kenaikan rata-rata sebesar 17,5% per tahun yaitu dari US$ 46 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 103 juta pada tahun 1988/89.

Dalam tahun terakhir Repelita IV, pengeluaran jasa netto mengalami peningkatan sebesar 3,9% menjadi US$ 7.372 juta. Peningkatan pengeluaran netto untuk jasa di luar sektor minyak dan gas bumi adalah sebesar 11,3% sedangkan jasa-jasa sektor minyak dan gas bumi mengalami penurunan sebesar 8,0%. Pening¬katan pengeluaran untuk jasa-jasa di luar sektor minyak dan gas bumi terutama disebabkan oleh kenaikan biaya angkutan impor dan pembayaran jasa modal sehingga masing-masing menja¬di US$ 1.347 juta dan US$ 2.851 juta. Pembayaran jasa modal yang masih meningkat tersebut erat kaitannya dengan kenaikan pembayaran bunga atas hutang Pemerintah sebesar 8,1% sehingga
TABEL, V - 9
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR SEKTOR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI (C.& F.),  1)
1983/84 - 1988/89
(dalam juta US dollar)


1)    Berdasarkan pembukaan L/C
2)    Angka diperbaiki
3)    Angka sementara

GRAFIK V – 5

PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR MINYAK DAN GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI,
1983/84 - 1988/89





V/48

TABEL V - 10
PERKEMBANGAN IMPOR DI LUAR MINYAK DAM GAS BUMI
MENURUT GOLONGAN EKONOMI, 1)
1983/84 - 1988/89
(dalam persentase)

                    Repelita    IV      
    Golongan Ekonomi    1983/84    1984/85    1985/86    1986/87 2)    1987/88 2)    1988/89 3)
1.    Barang Konsumsi    19,6    19,0    18,2    22,4    20,9    20,3
2.    Bahan Baku/Penolong    46,3    47,6    46,9    43,5    46,9    45,6
3.    Barang Modal    34,1    33,4    34,9    34,1    32,2    34,1
    Jumlah    100,0    100,0    100,0    100,0    100,0    100,0
1)    Berdasarkan pembukaan L/C
2)    Angka diperbaiki
3)    Angka sementara



V/49

menjadi US$ 2.565 juta pada tahun 1988/89. Sementara itu, transaksi jasa perjalanan menunjukkan adanya peningkatan pe¬nerimaan bersih yang cukup berarti, yaitu sebesar 69,0% se¬hingga menjadi US* 806 juta. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya penerimaan devise yang berasal dari wisatawan luar negeri.


E.     PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI

Sebagaimana digariskan dalam GBHN pinjaman luar negeri merupakan sumber pelengkap untuk meningkatkan investasi dan membiayai impor yang diperlukan untuk meningkatkan pemba¬ngunan.

Persetujuan pinjaman luar negeri (yang berbeda dengan pe¬manfaatan atau disbursement pinjaman luar negeri seperti yang tercantum dalam neraca pembayaran pada Tabel V-11) selama Re¬pelita IV meningkat dari US$ 4.528,6 juta pada tahun 1983/84 menjadi US$ 6.294,0 juta pada tahun 1988/89. Kenaikan ini terutama berasal dari kenaikan pinjaman lunak yang dalam periode yang sama, meningkat dari US$ 2.245,1 juta menjadi US$ 4.631,3 juta. Sedangkan persetujuan pinjaman setengah lunak dan komersial, dalam periode tersebut, hanya meningkat dari US$ 905 juta menjadi US$ 1.169,2 juta dan persetujuan pinjaman tunai menurun dari US$ 1.378,5 juta menjadi US$ 493,5 juta. Sementara itu Indonesia telah memperoleh bantuan khusus yang bersifat lunak dan mudah dicairkan untuk menun¬jang neraca pembayaran dan anggaran pembangunan. Adanya ban¬tuan khusus ini merupakan salah satu faktor meningkatnya jumlah bantuan yang bersifat lunak tersebut. Atas dasar ko¬mitmen yang ada, pada tahun 1988/89, bantuan khusus ini (ter¬masuk sejumlah kecil bantuan program yang secara teratur di¬terima setiap tahun) mencapai US$ 2.299,1 juta.

Dengan adanya bantuan khusus tersebut maka bagian dari pinjaman Pemerintah yang berupa pinjaman lunak meningkat. Ini berarti bahwa komposisi pinjaman Indonesia makin membaik. Jumlah pinjaman kurang lunak, pinjaman komersial dan pinjaman tunai sebagai persentase dari seluruh komitmen pinjaman luar negeri Pemerintah untuk masing-masing tahun telah menurun dari 50,4% dalam tahun 1983/84 menjadi 26,4% dalam tahun 1988/89 (Tabel V-12).

Pelunasan pinjaman luar negeri Pemerintah yang meliputi pembayaran pokok dan bunga dalam tahun 1983/84 berjumlah US$ 2.188 juta, dan meningkat rata-rata sebesar 23,7% setiap
TABEL V – 11
PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH, 1)
1983/84 – 1988/89
(dalam juta US


1)    Angka berdasarkan komitmen
2)    Angka diperbaiki
3)    Angka sementara
4)    Termasuk kredit ekspor
5)    Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

- contoh kerajinan tekstil dan cara pembuatannya
V/51
TABEL V – 12

KOMPOSISI PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH, 1)
1983/84 – 1988/89
(nilai dalam juta US dollar)


macam macam kerajinan tekstil

1)    Angka berdasarkan komitmen
2)    Angka diperbaiki
3)    Angka sementara
4)    Termasuk kredit ekspor
5)    Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank

V/52

GRAFIK V – 6
PERKEMBANGAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1983/84 – 1988/89

 

V/53

TABEL V - 13
PERSETUJUAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1983/84 - 1988/89
(dalam juta US dollar)
 - jenis kerajinan tekstil modern
1)    Angka sementara
2)    Termasuk kredit ekspor
3)    Berupa pinjaman obligasi dan pinjaman dari kelompok bank
 - contoh kerajinan tekstil sederhana 
TABEL V - 14
PELUNASAN PINJAMAN LUAR NEGERI PEMERINTAH,
1983/84 - 1988/89
(dalam juta US dollar)
Tahun    Pelunasan 1)
Pinjaman    Nilai Ekspor 2)    (% dari nilai
Ekspor)
1983/84    2.188    19.816    (11,0)
1984/85    2.684    19.901    (13,5)
1985/86    3.270    18.612    (17,6)
1986/87    4.149    13.697    (30,3)
1987/88    5.421    18.343    (29,6)
1988/893)    6.328    19.824    (31,9)
1)    Pokok dan bunga pinjaman Pemerintah
2)    Termasuk ekspor minyak bumi dan gas alam cair (LNG) atas dasar bruto
3)    Angka sementara

- contoh kerajinan tekstil modern beserta gambarnya

tahunnya sehingga dalam tahun 1988/89 berjumlah US$ 6.328 juta. Peningkatan ini sangat dipengaruhi oleh adanya kenaikan kurs beberapa mata uang utama dunia terhadap dollar Amerika Serikat. Pembayaran angsuran pokok berjumlah US$ 1.010 juta dalam tahun 1983/84 dan mengalami kenaikan sebesar rata-rata 30,1% per tahun sehingga menjadi US* 3.763 juta dalam tahun 1988/89. Pembayaran bunga yang dalam tahun 1983/84 berjumlah US$ 1.178 juta meningkat dengan rata-rata 16,8% setiap tahun menjadi US$ 2.565 juta pada tahun 1988/89.
- kerajinan tekstil tradisional
Ditinjau dari segi transaksi berjalan dan tingkat cadangan devisa perkembangan neraca pembayaran khususnya selama dua tahun terakhir Repelita IV menunjukkan kemantapan. Berkat serangkaian kebijaksanaan penyesuaian dan kebijaksanaan struktural, maka ekspor di luar minyak dan gas bumi, peng¬hasilan devisa dari jasa-jasa dan penanaman modal luar negeri berkembang dengan baik.
V/55




Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang  15 macam produk tekstil

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Proses, Teknik, dan Alat Kerajinan Tekstil 

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.

buka mesin jahit : http://www.bappenas.go.id/index.php/download_file/view/9130/231/

0 komentar:

Post a Comment