, , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Menjahit Baju Sendiri

 Menjahit Baju Sendiri

baju jahit, batik, belajar, guru, indonesia, jahit, jogja, kaos, kebaya, konveksi, kursus, kursus menjahit, les, mesin jahit, obras, private, sekolah, terbaik, usaha, yogyakarta
 Menjahit Baju Sendiri

jahit baju sendiri - Warna-Warni Kain (coletterie.com)
Seperti keperluan makan, pakaian merupakan kebutuhan dasar manusia. Tidak peduli, murah atau mahal, pakaian benar-benar hal utama dalam menyamankan aktivitas. Awalnya, saya tipikal pembeli yang at first sight. Meski jauh, kalau mata sudah membuat penilaian bagus terhadap sebuah baju, misalnya. Lantas, saya tertarik mendekat untuk mencari tahu detail si baju. Mulai dari jenis bahan, gaya potong, awet tidaknya, kecocokan di badan, lalu harganya.

Kecerewetan saat hendak membeli itu mengganjal, yang akhirnya memotivasi saya untuk membuat pakaian sendiri. Kalau produksi sendiri, saya bebas memilih kain: yang berbahan menyerap keringat, yang tidak meluruh dan luntur setelah dicuci, yang tidak menerawang saat dipakai, yang tidak lengket ke tubuh jika angin bertiup. Kemudian gaya potong bisa disesuaikan dengan ukuran badan. Dan pastinya lebih murah.

Hari gini, menjahit?

Sebenarnya saya tidak suka menjahit, melihatnya saja ribet apalagi kalau harus praktek. Tapi, saya sudah sepakat dengan diri sendiri untuk membuat pakaian pribadi. Saya tidak berpikir untuk kursus. Mau tidak mau, saya musti mengamati orang yang menjahit. Mulai dari merancang hingga menjadi pakaian siap pakai. Beruntung waktu kuliah dulu, belajar tentang desain dan ilmu keteknikan lainnya. Dengan dasar itu, saya lebih mudah memahami apa yang saya lihat dari seorang penjahit.

Peralatan Dasar Jahit (houzz.com)
Setelah mengetahui beberapa hal tentang menjahit lewat pengalaman orang lain, kini giliran saya untuk mengaplikasikannya. Yah, saya membeli kain yang kiranya memenuhi kriteria. Sepanjang 2 meter dengan motif floral warna maroon. Sampai di rumah, saya gunting menurut imajinasi, tanpa kertas pola.

Yang ada di kepala saat itu adalah sebuah terusan dengan sambungan di bawah dada. Pada sambungan terdapat lipit seperti rok sekolah. Bukaan terusan terletak pada bagian depan dengan dua kancing besar. Ujung lengan bergaya kemeja.

Ternyata, menjahit itu…

Saya pikir itu mudah dan sederhana. Dengan ke-pede-an tingkat tinggi, saya menjahit seperti di sirkuit balapan. Trek lurus itu menyenangkan, laju selaju-lajunya. Dan di belokan, melamban dengan rasa was-was. Tertatih-tatih mengombinasikan tangan yang mengatur arah lari kain dan kaki yang mengendalikan kecepatan jahit. Di situasi potongan kain yang menikung, saya mulai merasakan lelahnya menjahit. Saat mengerjakan bagian leher dan bukaan serta ujung lengan, wah, rasa kesal sesekali datang.

Dan, Alhamdulillah, baju pertama saya jadi dan nyaman dipakai hingga sekarang, meski belakangan saya lihat jahitannya tidak begitu rapi, hehe.

Jahitan Pertama Yang Nyaman
Pengalaman itu memberitahu saya, wajarlah harga baju tidak murah untuk kualitas baik. Apalagi kalau ngongkos ke orang untuk menjahit. Bayangkan kalau kita membawa kain kualitas biasa ke tukang jahit, minta desain begini-begitu, mau jadinya cepat, lalu biaya jahit murah. Bisa keki tuh penjahit.

Berawal dari keruwetan menjahit

Walaupun di dalam ruangan, menjahit membutuhkan ketekunan dan kesabaran yang luar biasa. Namun, kalau jahitan selesai, rasanya itu seperti memasukkan bola sejauh 100 meter lebih ke lubang yang kecil alias hole-in-one-nya golf. Senang sekali, saya suka, saya suka.

Senang Banget Bisa Selesaikan Seri Terakhir dari 4 Musim
Keruwetan menjahit justru memicu saya untuk tahu lebih banyak soal tekstil, menentukan rancangan, konsep warna dan motif, sketsa sesuai anatomi, cara menggunting, teknik menjahit, dan fashion secara makro. Akhirnya saya mempelajari semua itu secara otodidak, mengambil materi di sekolah-sekolah fashion di dunia, terutama dari Italia dan Jepang. Memperhatikan rancangan dan proses dari rumah busana berkelas, Dior misalnya. Melihat kecenderungan di fashion show ataupun pagelaran tidak langsung dalam red carpet. Terima kasih Oom Gie atas referensi gratisnya (pakai senyum tulus).

Pengetahuan fashion tersebut tidak serta merta diterapkan, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan saya sebagai muslimah.

Orang pintar di TV

Suatu ketika, Mama pernah bilang, “Rin, tadi ada orang pintar sekali di TV, dia menggunting kain sret, sret, sret, nggak pakai pola.”

Memotong Kain (newyork.cbslocal.com)
Woaaa, saya bergumam dalam hati. “Siapa, Ma?”

“Nggak tahu, siapa, tapi laki-laki yang badannya besar.”

Masih dalam hati, sepertinya saya tahu orang yang Mama maksud. Tepat sekali, Ivan Gunawan. Saya pun belajar dari dia. Konsep yang ditawarkan unik dan selalu menjadi khas meski tren terus berganti. Yang membuat saya terkesan yakni di sebuah momen, dia mengatakan kalau desain hijab jangan setengah-setengah. Maksudnya, jangan membungkus atau “kekurangan kain”.

Selain itu, desainer lokal yang bersumbangsih inspirasi adalah Irna Mutiara. Bunda yang satu ini, konsisten dengan dress bergaya sederhana dan anggun. Potongan yang tepat dan padan dengan muslimah Indonesia.

Dapatkan ide dengan jalan-jalan

Sekarang, bukan hanya toko buku yang sering saya kunjungi, toko kain berada di tingkat kedua. Kadang berkeliling dalam pajangan toko sekedar menyentuh kain dan menebak-nebak jenisnya. Bertanya tentang harga atau mengobrol dengan penjual. Membeli beberapa potong kain yang sekiranya menarik di pandangan pertama dan layak di pandangan berikutnya.

Tenun Bali "Ni Wayan Nadi Yani" di Festival Fashion BNI 2014
Untuk memperluas pengetahuan dan jaringan, dan demi mendapatkan ide, saya menyambangi festival-festival. Berbicara dengan penjual dari berbagai wilayah dengan ragam fashion masing-masing. Atau sesekali pergi ke butik-butik, menyaksikan perkembangan mode dan kebaharuan teknik menjahit.

Ikat NTT "Hula Juba" di Festival Fashion BNI 2014
Dari sekian perjalanan, saya memutuskan desain untuk pribadi dengan kriteria: longgar, tidak menerawang dan tidak berlebih-lebihan. Sebagai wanita, itulah yang paling nyaman. Rutinitas akan lebih tenang tanpa khawatir dipandangi usil. Kenapa? ini jawabannya.

Sayang kalau dijual

Nah, pakaian yang saya selesaikan sudah terhitung lumayan. Dalam waktu senggang, di sela kegiatan kampus maupun luar kampus, saya berkarya dengan aneka kain. Atau jika ingin menyegarkan diri dan enggan keluar jauh-jauh, saya menjahit. Menikmati setiap kesulitan yang ditantang sebuah desain. Mendengarkan loncatan benang-benang yang menyajikan instrumen berbeda-beda. Menjahit jadi mengasyikkan ya, hehe. Apalagi kalau jarum patah tiga dan benang putus-putus. Menguji kesabaran banget.

Teman-teman yang berkunjung sering mengomentari koleksi di kontainer.

Yaaa, Semoga Bisa Ada Butiknya (vancouversun.com)
“Jual aja, Rin.”

Yang lain menambahkan, “Iya, nanti dibroadcast lewat BBM.”

Saya jawab, “Iya, ya. Ide bagus, tuh.”

“Buka butik, wujudkan semua desain di buku sketsamu!”

"Aminnn," sambut kami bersama-sama

Tapi, setelah mereka pergi, ide barusan menguap. Hahhaha, sambil melihat ke kontainer-kontainer, saya berujar dalam hati, capek buatnya, nggak usah dijual deh.

Kemiripan konsep dress

Dari berbagai jenis dress yang ada, saya memadukan beberapa gaya. Yang paling sering, saya menggabungkan konsep kemeja, baby doll, long dress dan maxi dress. Atau kombinasi singlet, outer, dan long dress. Awalnya orang di sekitar mengomentari sebagai baju hamil, ingat baju pertama yang saya buat? Begitu modelnya. Saya cuek, yang penting nyaman dan tidak gombrang-gombrang amat. Tapi setelah demam Korea, baju-baju saya disebut ke-Korea-Korea-an.

Kombinasi Singlet, Long & Maxi Dress, dan Outer
Kenapa bisa? Setelah cari tahu, ternyata baju tradisional Korea di masa silam terlihat seperti apa yang selama ini saya buat. Namanya hanbok. Terdiri dua bagian, rok lebar dan atasan sejenis bolero. Saya jadi kagum, orang-orang dulu yang santun. Dengan warna yang cenderung cerah dan ornamen klasik pada kain, hanbok memang cantik. Dan kain satin yang digunakan menjadikan pemakai tampak anggun.

Ini Dia si Hanbok ^^ (minhanbok.net)
Biarlah, kalau disebut begitu, hehe.

Sempat juga disebut ke-Cina-Cina-an. Yah, itu benar, karena tumbuh kembang saya di lingkungan yang memiliki pengaruh dari Negeri Tembok Besar. Pakaian tradisional wanita di Cina sangat banyak, berkembang sesuai zaman dan budaya lain, mulai dari Hanfu hingga Cheongsam modern. Jadi, tidak heran kalau warna hangat (mendekati merah) menjadi lebih banyak dalam koleksi pakaian saya. Termasuk gaya motif yang terpusat di tengah-depan secara vertikal mulai dari pinggang ke bawah. Lihat rancangan gaun pengantin tradisional di lingkungan saya  Borneo's Wedding Plan, with my Cung-Cung!

Terusan Beraksen Tradisional   
   
Salah Satu Dress Tradisional Cina (meosafari.com)
Sekian kisah bagaimana saya bisa menjahit baju dan mengenal fashion. Hal terpenting kali ini, gunakan pakaian yang cocok dan nyaman dengan diri kita sendiri. Bukan melihat orang lain atau model pajangan. Yang aman tentunya kalau longgar, tidak menerawang dan tidak berlebih-lebihan.

Dengan adanya informasi yang kami sajikan tentang  jahit baju sendiri

, harapan kami semoga anda dapat terbantu dan menjadi sebuah rujukan anda. Atau juga anda bisa melihat referensi lain kami juga yang lain dimana tidak kalah bagusnya tentang Apakah maksud pukal ?

. Sekian dan kami ucapkan terima kasih atas kunjungannya.

buka mesin jahit : http://www.rinninajourneystory.com/2015/07/menjahit-dari-hamil-sampai-korea.html

0 komentar:

Post a Comment